Henrikh Mkhitaryan hampir menjadi pahlawan di leg pertama semifinal Liga Champions yang mendebarkan antara Inter Milan dan Barcelona. Gelandang asal Armenia itu sempat merayakan gol keempat timnya yang bisa saja memastikan keunggulan penting menjelang leg kedua di San Siro. Namun, kegembiraan itu sirna ketika hakim garis mengangkat bendera dan VAR mengonfirmasi bahwa ia berada dalam posisi offside yang tipis.
Momen tersebut terjadi di detik-detik akhir pertandingan ketika Barcelona dan Inter bermain sama kuat 3-3. Dalam skema serangan balik cepat, Mkhitaryan menerima umpan dan melepaskan penyelesaian yang menakjubkan ke gawang Barcelona. Sorak sorai sempat terdengar di kubu Inter, namun semuanya terdiam ketika gol dianulir dan papan skor tetap tak berubah.
Setelah laga, Mkhitaryan mengungkapkan rasa frustrasinya atas keputusan tersebut. Ia merasa posisinya sangat tipis dan seharusnya ada margin toleransi dalam situasi seperti itu. Namun, peraturan tetaplah peraturan, dan Inter harus puas dengan hasil imbang jelang leg kedua yang krusial. “Saya pikir itu adalah gol sah. Tapi begitulah sepak bola,” ujarnya.
Inter Milan harus merelakan peluang emas itu dan bersiap menghadapi tekanan yang lebih besar di kandang sendiri minggu depan. Ketidakhadiran kapten mereka, Lautaro Martinez, akan menjadi tantangan tambahan. Namun, performa positif selama 90 menit pertama tetap memberikan kepercayaan diri bagi tim besutan Simone Inzaghi.
Pertarungan di leg kedua diprediksi akan menjadi duel penuh emosi, taktik, dan ketegangan. Bagi Mkhitaryan dan Inter, gol yang dianulir itu mungkin akan menjadi bahan bakar tambahan untuk tampil lebih tajam dan waspada dalam pertandingan yang akan menentukan langkah ke final Liga Champions.
Thuram Kilat, Magis Yamal, dan Drama 6 Gol Malam Gila di Semifinal Inter vs Barcelona
Semifinal Liga Champions antara Inter Milan dan Barcelona menghadirkan drama luar biasa sejak peluit awal dibunyikan. Marcus Thuram mencetak gol tercepat dalam sejarah semifinal kompetisi ini, hanya dalam waktu 30 detik setelah kick-off, mengguncang lini belakang Barcelona dan menempatkan Inter dalam posisi unggul lebih dulu. Tidak berhenti di situ, Denzel Dumfries menambah keunggulan menjadi 2-0 dengan sebuah penyelesaian klinis yang tampaknya membuat Inter nyaman.
Namun, kenyamanan itu tidak bertahan lama. Lamine Yamal, di penampilan ke-100-nya untuk Blaugrana, menunjukkan mengapa dirinya disebut sebagai bintang masa depan klub. Dengan sebuah momen magis yang menghidupkan semangat tim, pemain berusia 17 tahun itu memperkecil ketertinggalan dengan gol spektakuler yang mengguncang stadion. Aksi tersebut menjadi titik balik yang membakar semangat Barcelona untuk bangkit.
Tak lama setelah itu, Ferran Torres menyamakan skor menjadi 2-2, mengakhiri babak pertama dengan intensitas tinggi dan keseimbangan yang mengejutkan. Meski Inter kembali memimpin melalui gol kedua Dumfries, pertandingan belum selesai. Barcelona langsung merespons hanya dalam waktu 114 detik lewat gol bunuh diri Yann Sommer, membuat skor kembali imbang 3-3.
Pertandingan ini adalah cerminan kekacauan taktis, kejeniusan individu, dan semangat juang luar biasa dari kedua tim. Inter bermain dengan intensitas tinggi dan memanfaatkan peluang secara klinis, sementara Barcelona menunjukkan ketangguhan mental luar biasa untuk bangkit dari ketertinggalan dua kali.
Dengan hasil imbang 3-3 di leg pertama, pertarungan ini masih terbuka lebar menjelang leg kedua di San Siro. Jika pertandingan pertama menjadi indikasi, para penggemar dapat menantikan babak kedua dari duel klasik yang sudah ditakdirkan untuk dikenang dalam sejarah Liga Champions.
Sentimeter yang Menggugurkan Gol Mkhitaryan dan Drama Offside di Ujung Laga
Henrikh Mkhitaryan sempat merasa dirinya menjadi penyelamat Inter Milan ketika bola hasil umpan silang dari sisi kanan berhasil ia konversi menjadi gol dramatis di penghujung laga melawan Barcelona. Namun kegembiraan itu hanya berlangsung sekejap. Asisten wasit mengangkat bendera, dan teknologi semi-otomatis mengonfirmasi bahwa sebagian kecil dari kaki Mkhitaryan berada dalam posisi offside—cukup untuk membatalkan gol yang bisa saja membawa kemenangan bagi Nerazzurri.
Dalam wawancara bersama TNT Sports, pemain asal Armenia itu mengungkapkan kekecewaannya. “Saya merasa sangat terpukul,” ujarnya. “Mungkin hanya dua atau tiga sentimeter, tetapi dalam sepak bola modern, itu sudah cukup untuk mengubah segalanya.” Ia juga mengakui kesalahannya sendiri, menyadari bahwa rasa ingin mencetak gol terlalu besar membuatnya kehilangan kewaspadaan dalam menahan posisi.
Mkhitaryan menjadi salah satu titik terang Inter dalam laga semifinal yang berakhir imbang 3-3. Ia beberapa kali merepotkan lini belakang Barcelona dan menjadi pusat kreativitas di lini tengah, namun harus menerima kenyataan pahit akibat keputusan VAR yang begitu presisi. Keputusan tersebut pun menjadi salah satu momen yang paling disorot dari pertandingan sengit itu.
Kegagalan mencetak gol kemenangan tak menyurutkan semangat Mkhitaryan. Ia menegaskan bahwa dirinya kini sepenuhnya fokus pada leg kedua di San Siro. “Saya harus mencetak gol di leg kedua, hanya itu,” katanya dengan tegas, menyiratkan tekad untuk membayar lunas kegagalan di leg pertama.
Dengan skor agregat masih seimbang, Inter Milan harus tampil sempurna di hadapan pendukungnya sendiri. Performa Mkhitaryan bisa menjadi kunci, dan andai ia kembali berada di posisi yang tepat, bukan tidak mungkin sang gelandang akan menebus penyesalan itu dengan gol yang benar-benar sah.
Deja Vu Inter Milan Unggul Dua Gol, Gagal Menang Lagi di Liga Champions
Inter Milan kembali mengalami kekecewaan yang familiar di panggung Liga Champions. Untuk ketiga kalinya, mereka gagal mengamankan kemenangan meski sempat unggul dengan selisih lebih dari dua gol. Setelah kekalahan 3-2 melawan Borussia Dortmund pada 2019 dan hasil imbang dramatis 3-3 melawan Benfica pada 2023, skenario serupa kembali terjadi ketika Inter ditahan imbang oleh Barcelona di semifinal, meski sempat memimpin 2-0 dalam 20 menit pertama pertandingan.
Henrikh Mkhitaryan menggambarkan laga tersebut sebagai “pertandingan gila” – luar biasa untuk ditonton, tapi sangat sulit untuk dimainkan. Tekanan dari Barcelona sangat intens, membuat Inter harus bertahan mati-matian dan mengandalkan serangan balik untuk menciptakan peluang. “Kami seharusnya bisa tampil lebih baik lagi,” ujar Mkhitaryan kepada TNT Sports. Ia juga menegaskan bahwa Inter tidak pernah merasa sudah memenangkan pertandingan, meski sempat unggul lebih dulu.
Inter sempat kembali unggul lewat gol kedua Denzel Dumfries, namun dominasi penguasaan bola dari Barca dan permainan impresif Lamine Yamal membuat tim asal Italia itu kesulitan mempertahankan keunggulan. Barcelona akhirnya menyamakan kedudukan menjadi 3-3, memanfaatkan kesalahan dan ruang yang terbuka akibat tekanan tinggi yang harus dihadapi Inter sepanjang laga.
Kesulitan Inter mempertahankan keunggulan besar menjadi sorotan tersendiri. Ketidakmampuan mereka menutup pertandingan dengan kemenangan kembali memperlihatkan kelemahan yang berulang dalam pengelolaan permainan saat unggul, terutama di laga-laga besar Liga Champions yang menuntut ketenangan dan disiplin ekstra. Meski kualitas individu seperti Thuram, Dumfries, dan Mkhitaryan bersinar di beberapa momen, hasil akhir menunjukkan ada pekerjaan rumah besar bagi Simone Inzaghi.
Kini, semua mata tertuju pada leg kedua yang akan berlangsung di San Siro. Dengan skor imbang dan tekanan psikologis karena kehilangan keunggulan, Inter harus bangkit dan tampil sempurna di hadapan pendukung mereka sendiri. Mkhitaryan menutup komentarnya dengan optimisme: “Ini sepak bola, apa pun bisa terjadi.” Sebuah kalimat sederhana yang menyiratkan bahwa duel di Milan akan menjadi pertarungan hidup-mati berikutnya.
Inter Siap Bangkit di San Siro Demi Final Liga Champions
Inter Milan menunjukkan tekad kuat untuk bangkit setelah hasil imbang dramatis melawan Barcelona di leg pertama semifinal Liga Champions. Meski menghadapi tantangan berat, termasuk kehilangan kapten mereka, Lautaro Martinez, karena cedera, semangat tim asuhan Simone Inzaghi tetap tinggi. Henrikh Mkhitaryan menyatakan bahwa tim masih percaya bisa tampil lebih baik, meski harus melawan tim muda dan bertalenta seperti Barcelona.
Mkhitaryan mengungkapkan bahwa pelatih hanya meminta satu hal sederhana namun penting: tetap percaya dan terus bermain dengan kepala tegak. Nasihat itu menjadi kunci bagi skuad Nerazzurri yang kini harus bersiap menghadapi laga penentuan di San Siro tanpa pemimpin utama mereka. Absennya Lautaro tentu menjadi pukulan telak, mengingat kontribusinya yang vital dalam lini serang Inter selama musim ini.
Cedera Lautaro menambah daftar kekhawatiran Inter, yang saat ini juga tengah tertinggal tiga poin dari Napoli dalam perburuan gelar Serie A. Namun, mentalitas juara tetap dijaga dalam ruang ganti. Para pemain tahu bahwa tanggung jawab kini dibagi lebih merata, dan peran pengganti Lautaro akan menjadi krusial dalam menentukan nasib mereka di Eropa.
Kehilangan kapten di fase krusial seperti ini tentu tidak mudah. Namun, Inter punya kedalaman skuad dan pengalaman untuk menghadapi tekanan besar. Para pemain seperti Thuram, Barella, dan Mkhitaryan sendiri akan dituntut tampil lebih dominan dan memimpin tim di atas lapangan.
Pertandingan leg kedua melawan Barcelona di kandang sendiri akan menjadi ujian karakter bagi Inter Milan. Tanpa kehadiran Lautaro, mereka harus menemukan energi baru dan bermain dengan determinasi tinggi. Satu hal yang pasti: tim ini belum menyerah, dan mereka siap bertarung hingga peluit akhir demi satu tempat di final Liga Champions.
Denzel Dumfries Pecahkan Rekor Sejarah dan Raih Penghargaan Pemain Terbaik di Semifinal Liga Champions
Denzel Dumfries menjadi pusat perhatian usai laga dramatis antara Inter Milan dan Barcelona, setelah mencatatkan satu gol dan satu assist yang membuatnya dinobatkan sebagai Pemain Terbaik pertandingan. Pemain asal Belanda itu tak hanya tampil luar biasa secara teknis, tetapi juga berhasil menyamai prestasi legenda Belanda, Wesley Sneijder, sebagai pemain terakhir dari negaranya yang mencetak gol dan memberikan asis di babak semifinal Liga Champions.
Dalam wawancaranya dengan TNT Sports, Dumfries tampak terkejut namun bangga ketika diberitahu tentang pencapaian statistiknya. “Saya tidak tahu itu. Itu statistik yang bagus,” ujarnya dengan senyum, mencerminkan rasa puas dan kebanggaan atas kontribusinya yang luar biasa di salah satu panggung paling bergengsi sepak bola Eropa.
Pertandingan itu sendiri berlangsung dengan tempo tinggi dan intensitas luar biasa. Dumfries membuka keunggulan Inter sebelum pertandingan berakhir imbang 3-3 dalam duel penuh drama. Meski tidak keluar sebagai pemenang, Inter tetap tampil solid dengan semangat juang tinggi, yang tercermin dari permainan pemain seperti Dumfries.
Kini, semua mata tertuju ke leg kedua di San Siro, di mana Inter berharap dapat memanfaatkan atmosfer kandang untuk memastikan tiket ke final. Dumfries, dengan performa gemilangnya di leg pertama, diprediksi akan kembali menjadi salah satu kunci utama dalam strategi Simone Inzaghi.
Dengan momentum dan motivasi tinggi, Dumfries membuktikan bahwa dirinya bukan sekadar bek sayap biasa, melainkan pemain dengan mental juara yang siap membawa Inter meraih prestasi tertinggi di Eropa.
Baca Juga :