Atmosfer sepak bola Indonesia selalu dikenal penuh gairah. Dukungan suporter yang luar biasa dan fanatisme tinggi telah menjadi bagian dari identitas kompetisi domestik, khususnya Liga 1. Namun, gairah tersebut kembali tercoreng ketika insiden flare—atau suar—kembali mencuat ke permukaan dalam pertandingan yang melibatkan klub besar seperti Persib Bandung. Insiden ini mendapat sorotan tajam dari Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, yang tidak segan-segan melontarkan peringatan keras terhadap perilaku yang mencederai nilai fair play dan keselamatan dalam sepak bola nasional.
Babak Baru Peringatan Ketegasan Erick Thohir
Erick Thohir bukan sosok asing dalam upaya reformasi sepak bola Indonesia. Sejak menjabat sebagai Ketua Umum PSSI, ia terus menekankan pentingnya profesionalisme, transparansi, dan komitmen terhadap prinsip fair play. Maka ketika flare kembali dinyalakan oleh sebagian suporter Persib Bandung dalam laga penting Liga 1, ia tak tinggal diam.
“Ini bukan hanya pelanggaran regulasi, tapi juga pelanggaran terhadap nilai-nilai sportivitas yang coba kita bangun selama ini,” ujar Erick dalam konferensi pers usai laga. Baginya, flare bukan sekadar alat koreografi yang indah secara visual, melainkan benda berbahaya yang berpotensi mengancam keselamatan pemain, ofisial, bahkan penonton lain.
Peringatan tersebut bukan yang pertama dari Erick. Namun kali ini, nada bicara dan ekspresinya mengisyaratkan betapa seriusnya insiden ini dinilai. Ia bahkan menegaskan bahwa tindakan tegas akan diambil terhadap pihak-pihak yang terbukti lalai atau sengaja membiarkan flare masuk ke stadion.
Kilas Balik Insiden di Stadion
Insiden flare terjadi dalam pertandingan antara Persib Bandung melawan rivalnya di pekan ke-34 Liga 1. Pertandingan yang berlangsung di Stadion Gelora Bandung Lautan Api tersebut diwarnai antusiasme tinggi dari para Bobotoh—julukan suporter Persib. Namun, di tengah atmosfer penuh semangat itu, sejumlah flare terlihat dinyalakan di tribun selatan pada menit-menit awal babak kedua.
Beberapa flare bahkan dilempar ke area lintasan pinggir lapangan. Meski tidak sampai mengenai pemain, tindakan tersebut sempat menghentikan pertandingan selama beberapa menit. Wasit terpaksa meminta ofisial keamanan untuk memastikan tidak ada flare aktif sebelum laga bisa dilanjutkan.
Kejadian ini langsung menjadi sorotan media nasional. Gambar dan video flare menyala menyebar di media sosial, mengundang kecaman dari publik dan pengamat sepak bola. Banyak yang menyayangkan tindakan tidak bertanggung jawab tersebut, apalagi mengingat Liga 1 tengah berbenah menuju kompetisi yang lebih profesional dan aman.
Aspek Regulasi dan Sanksi
PSSI sendiri memiliki regulasi tegas mengenai penggunaan flare di stadion. Dalam Pasal 70 Regulasi Liga 1, disebutkan bahwa suporter, ofisial klub, atau pihak lain dilarang keras membawa atau menyalakan benda berbahaya, termasuk flare, kembang api, dan smoke bomb.
Sanksi atas pelanggaran ini bisa bervariasi: mulai dari denda finansial bagi klub, larangan penonton hadir di laga kandang berikutnya, hingga hukuman administratif bagi klub atau panitia pelaksana pertandingan. Bahkan, dalam kasus berat, klub bisa dikenai hukuman bertanding tanpa penonton selama beberapa pertandingan.
“Ini bukan hanya masalah uang. Ini soal komitmen menjaga sepak bola kita tetap aman dan beradab,” kata Erick dalam wawancaranya dengan media TV nasional. Ia juga menyinggung bahwa insiden semacam ini bisa berdampak pada reputasi Liga 1 di mata AFC maupun FIFA.
Perspektif Klub Persib Bereaksi
Persib Bandung sebagai klub yang terdampak insiden ini langsung merilis pernyataan resmi. Dalam rilis tersebut, manajemen menyayangkan adanya flare dan berjanji akan mengevaluasi sistem pengamanan serta bekerja sama dengan pihak kepolisian untuk mengidentifikasi pelaku.
“Kami mengimbau seluruh Bobotoh untuk tetap mendukung tim dengan cara yang positif. Nyala semangat tidak harus dinyatakan melalui flare,” tulis Direktur Persib dalam pernyataannya. Manajemen juga mengaku siap menerima sanksi jika terbukti ada kelalaian dalam pengamanan pintu masuk.
Namun demikian, pihak klub juga meminta pendekatan edukatif bagi suporter. Menurut mereka, hukuman berat tanpa pendekatan persuasif hanya akan memicu resistensi. Oleh karena itu, mereka siap menggelar diskusi terbuka bersama komunitas suporter untuk mencari solusi jangka panjang.
Suporter Terbelah Antara Emosi dan Kesadaran
Reaksi suporter atas insiden ini beragam. Sebagian Bobotoh menganggap flare sebagai bagian dari budaya tribun yang tidak bisa dipisahkan dari atmosfer stadion. Menurut mereka, selama flare tidak diarahkan ke pemain atau tribun lawan, tidak seharusnya dilarang secara mutlak.
Namun, tak sedikit pula yang menyadari bahwa zaman sudah berubah. “Kalau mau liga kita maju, kita juga harus berubah. Gak bisa terus-terusan egois,” ujar Deden, salah satu koordinator komunitas Bobotoh.
Beberapa komunitas bahkan mulai mengampanyekan dukungan tanpa flare melalui media sosial dengan tagar #BobotohTanpaFlare. Mereka mengajak rekan-rekannya untuk menyalurkan semangat lewat chant, koreografi, dan dukungan kreatif lainnya yang tidak membahayakan.
Dampak Luas Cermin Buruk di Mata Internasional
Penggunaan flare dalam laga domestik bukan hanya masalah nasional, tapi juga memiliki efek domino terhadap sepak bola Indonesia di mata internasional. Sebagai negara yang tengah giat meningkatkan reputasi di kancah Asia, insiden seperti ini bisa menjadi batu sandungan serius.
Bayangkan jika perwakilan AFC atau FIFA menyaksikan pertandingan tersebut secara langsung atau melalui siaran digital. Apa yang mereka lihat bukan hanya permainan di lapangan, tetapi juga perilaku suporter sebagai indikator kematangan ekosistem sepak bola.
Erick Thohir bahkan menyebut insiden ini sebagai contoh buruk yang bisa menghambat peluang Indonesia menjadi tuan rumah turnamen besar. “Kalau kita tidak bisa mengendalikan suporter, bagaimana kita bisa dipercaya menggelar even level Asia atau dunia?” tegasnya.
Upaya Pencegahan di Masa Depan
Melihat kembali ke belakang, flare bukan barang baru dalam masalah kedisiplinan suporter di Indonesia. Beberapa klub pernah menerima hukuman berat akibat ulah suporter, bahkan di level kompetisi AFC. Maka dari itu, diperlukan pendekatan sistematis untuk mencegah terulangnya kejadian ini.
Beberapa langkah yang diusulkan antara lain:
- Pemeriksaan Ketat di Pintu Masuk
PSSI dan LIB bisa bekerja sama dengan aparat untuk menerapkan standar pemeriksaan barang bawaan yang lebih ketat dan profesional. - Kampanye Edukasi Suporter
Pendekatan edukatif yang konsisten lewat media sosial, kerja sama dengan komunitas suporter, serta kampanye kreatif dari klub. - Sanksi Bertingkat
Penerapan sanksi progresif, dari denda ringan hingga larangan suporter hadir di laga kandang, bisa memberikan efek jera bertahap. - Kolaborasi Klub-Suporter
Klub harus lebih aktif menggandeng komunitas suporter dalam pengelolaan atmosfer tribun, termasuk pelibatan dalam pengawasan internal.
Harapan Erick Thohir Sepak Bola yang Lebih Dewasa
Meski kesal dan kecewa, Erick Thohir tetap menyatakan optimisme bahwa sepak bola Indonesia masih bisa berubah. Menurutnya, perubahan besar dimulai dari hal-hal kecil, seperti kesadaran bahwa sepak bola adalah hiburan keluarga dan bukan ajang pelampiasan destruktif.
Ia juga mengingatkan bahwa keberhasilan transformasi sepak bola nasional tidak hanya bergantung pada pemain, pelatih, atau federasi, tetapi juga suporter sebagai “pemain ke-12”.
“Kalau kita semua cinta sepak bola Indonesia, mari kita jaga bersama. Biarkan anak-anak bisa datang ke stadion tanpa rasa takut. Biarkan orang tua membawa keluarganya dengan tenang,” pungkasnya.
Baca Juga: