1920x600-TOP-ID
ID
ID
previous arrow
next arrow

SBOTOP: Jens Raven Ungkap Janji Rahasia di Balik Selebrasi Pacu Jalur

Langit Teluk Kuantan sore itu berselimut awan, seolah ikut menunggu momen yang akan segera terjadi. Ribuan pasang mata dari berbagai penjuru Riau dan luar daerah tumpah ruah di pinggiran Sungai Kuantan. Festival Pacu Jalur bukan sekadar balapan perahu panjang, tapi bagian dari jiwa masyarakat Kuantan Singingi, yang turun-temurun menghidupkan budaya ini sebagai simbol kebersamaan, ketangguhan, dan kehormatan.

Namun tahun ini, ada yang berbeda.

Bukan hanya karena keikutsertaan tim luar daerah yang kian banyak. Bukan pula karena intensitas media sosial yang menggila. Perhatian publik justru tertuju pada satu sosok: Jens Raven.

Nama itu bukanlah milik seorang penghulu adat, bukan pula pejabat daerah. Jens adalah atlet muda berdarah campuran Belanda-Minang yang tiba-tiba mencuri sorotan publik karena selebrasinya yang penuh emosional setelah timnya—“Rantau Satu Hati”—menjuarai lomba Pacu Jalur kategori terbuka.

Saat perahu panjang mereka menyentuh garis akhir, Jens berdiri, mengangkat dayung ke langit, lalu berlutut sambil menengadah. Bukan hanya keringat yang membasahi wajahnya—ada air mata, senyuman samar, dan bisikan lirih yang terekam oleh kamera salah satu jurnalis lokal. “Aku menepati janji,” bisiknya.

Janji? Janji apa?

Jawaban itu mulai terkuak ketika Jens bersedia diwawancarai secara eksklusif, dan ceritanya pun perlahan menyingkap satu sisi kehidupan yang tak banyak orang tahu.

Lelaki Asing di Tengah Tradisi Leluhur

Jens Raven mungkin terdengar asing bagi sebagian besar warga Kuansing. Ia lahir di Rotterdam, Belanda, tahun 2001 dari seorang ayah Belanda dan ibu yang berasal dari Payakumbuh, Sumatera Barat. Ayahnya seorang fotografer lepas, sementara ibunya adalah penari tradisional yang pernah tergabung dalam Sanggar Minangkabau Internasional.

Sejak kecil, Jens sudah diperkenalkan pada budaya Indonesia—khususnya Minang—melalui cerita, tarian, makanan, dan musik. Tapi satu hal yang tak pernah ia bayangkan adalah keterikatannya dengan dunia olahraga tradisional Melayu: Pacu Jalur.

“Awalnya aku kira itu hanya lomba perahu biasa. Tapi waktu pertama kali melihat rekamannya tahun 2017, aku terkesima. Ada sesuatu yang beda. Spiritnya bukan hanya kompetisi, tapi sejarah, kebanggaan, bahkan spiritualitas,” kenang Jens.

Saat pandemi mereda, Jens memutuskan untuk mengambil cuti kuliah dari jurusan Antropologi di Leiden University. Tujuannya: kembali ke akar. Ia menetap di Payakumbuh selama beberapa bulan sebelum mendengar kabar tentang pelatihan Pacu Jalur di Kuantan Singingi.

“Darahku mungkin tak sepenuhnya Melayu, tapi jiwaku merasa terpanggil,” ucapnya.

Rantau Satu Hati dan Jalan Menuju Sungai Kuantan

Jens tidak datang sebagai tamu biasa. Ia mendaftarkan diri sebagai peserta tim Rantau Satu Hati—kelompok muda yang mayoritas terdiri dari perantau Minang dan Melayu yang kembali ke kampung halaman demi merayakan tradisi.

Awalnya, keberadaan Jens dipertanyakan. Beberapa senior memandangnya sebagai ‘bule nyasar’ yang hanya ingin viral. Tapi Jens tak peduli. Ia mengikuti latihan setiap hari, belajar bahasa lokal, bahkan ikut menyantap sarapan pagi dengan menu khas seperti gulai pucuk ubi dan sambal lado mudo.

“Yang membuat kami akhirnya menerima Jens bukan sekadar semangatnya. Tapi karena ia tidak pernah mengeluh. Di saat banyak anak muda cepat menyerah, Jens malah menawarkan diri membersihkan perahu dan memperbaiki jalur yang rusak,” ujar Ujang, kapten tim Rantau Satu Hati.

Perjalanan tim itu menuju babak final pun bukan tanpa rintangan. Mereka kalah di seleksi pertama, nyaris gagal di penyisihan, dan harus menghadapi cuaca ekstrem di semifinal. Tapi Jens terus memberi semangat. “Kalau kita ingin bawa sesuatu yang lebih dari sekadar kemenangan, kita harus siap bayar dengan jiwa,” katanya saat briefing malam sebelum final.

Ucapan itu ternyata lahir dari sebuah janji.

Janji yang Terucap di Pinggir Ranjang

Tiga tahun sebelum keikutsertaannya di Pacu Jalur, Jens kehilangan sosok paling berpengaruh dalam hidupnya—Nenek Mariani, wanita Minang yang membesarkannya saat orang tuanya bercerai.

Mariani, atau yang akrab dipanggil Nek Yan, adalah wanita tangguh dari Nagari Koto Nan Ampek, yang hijrah ke Belanda sebagai bagian dari delegasi seni budaya. Ia yang mengenalkan Jens pada dunia Melayu sejak bayi.

“Satu hari, ketika ia sudah terbaring sakit, aku mendongeng untuknya. Aku bilang ingin suatu saat ikut budaya tradisional di Indonesia dan membuat dia bangga,” ucap Jens dengan mata berkaca-kaca.

Reaksi Nek Yan saat itu pelan, tapi menggetarkan. “Kalau kau bisa ikut Pacu Jalur, Jens, itu lebih dari cukup untuk nenek.”

Beberapa bulan kemudian, Nek Yan berpulang.

Tiga tahun kemudian, janji itu akhirnya ditunaikan.

“Aku tidak pernah anggap itu omongan biasa. Itu wasiat. Dan ketika aku berdiri di atas jalur, aku tahu nenekku ada di situ,” tutur Jens.

Pacu Jalur Roh Leluhur dan Emosi yang Meluap

Bagi masyarakat umum, selebrasi Jens tampak biasa. Tapi bagi masyarakat adat dan para sesepuh, gestur Jens menyimpan makna mendalam.

“Saat dia mengangkat dayung dan menengadah, itu mirip dengan ritual ‘minta restu’ dalam upacara adat kami. Itu bukan ekspresi modern, itu gerakan spiritual,” kata Pak Jalil, tokoh adat Kuantan Singingi.

Setelah kemenangan tim Rantau Satu Hati diumumkan, Jens langsung sujud syukur di ujung jalur. Tapi yang menarik adalah, ia menyempatkan diri menaburkan bunga ke sungai dan melepaskan selembar kain kecil berwarna ungu ke air.

Ternyata kain itu milik Nek Yan, disimpan Jens sejak wafatnya sang nenek. Ia menulis kalimat:
“Nek, aku pulang. Dan aku menepati janji.”

Sejak itu, narasi selebrasi Jens berubah dari sekadar momen kemenangan menjadi kisah spiritualitas, cinta keluarga, dan pengabdian terhadap budaya leluhur.

Dampak yang Tak Terduga

Kisah Jens menyebar cepat di media sosial dan media lokal. Tapi yang lebih mengejutkan adalah respons masyarakat. Banyak anak muda yang mulai penasaran kembali dengan budaya Pacu Jalur, bahkan mengirim pesan ke Jens via Instagram untuk belajar lebih lanjut.

Tak lama setelah peristiwa itu, Jens diundang oleh Dinas Kebudayaan Riau untuk menjadi duta pemuda budaya. Ia juga dihubungi oleh beberapa produser dokumenter dari luar negeri yang tertarik mengangkat kisahnya dalam format film pendek.

Namun Jens menolak semua tawaran komersial.

“Ini bukan tentang ketenaran. Ini tentang menepati janji dan menjaga warisan,” katanya singkat.

Ia justru memilih mendirikan komunitas kecil bernama “Janji Sungai”—sebuah inisiatif untuk mempertemukan anak muda urban dengan tradisi lokal. Komunitas ini kini aktif melakukan pelatihan budaya, termasuk memperkenalkan Pacu Jalur ke sekolah-sekolah di kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Medan.

Baca Juga:

TAGS:
CLOSE