Di tengah euforia kemenangan Inggris di final Euro 2025, ada sosok Aitana Bonmati yang memilih berdiri di garis depan, memikul beban kekalahan Spanyol dengan jiwa besar. Meski dinobatkan sebagai Player of the Tournament, Bonmati tak ragu mengakui kesalahannya setelah tendangan penaltinya digagalkan Hannah Hampton di babak adu penalti.
Dalam laga penuh tensi itu, Spanyol sempat unggul lebih dulu lewat gol Mariona Caldentey di menit ke-25. Namun, determinasi Inggris membuahkan hasil di babak kedua saat Alessia Russo menanduk bola untuk menyamakan kedudukan. Skor 1-1 bertahan hingga extra time, memaksa laga ditentukan lewat drama adu penalti.
Sayangnya, Bonmati menjadi salah satu dari tiga penendang Spanyol yang gagal menaklukkan kiper Inggris, bersama Mariona Caldentey dan Salma Paralluelo. Namun berbeda dari kebanyakan, Bonmati memilih tidak mencari alasan.
“Saya bertanggung jawab. Penalti saya gagal. Sebagai pemain yang diandalkan, saya harusnya bisa lebih baik,” ujar Bonmati dengan kepala tegak.
Kekalahan memang menyakitkan, apalagi setelah perjalanan gemilang menuju final. Tapi justru di momen-momen gelap seperti inilah karakter pemimpin sejati terlihat. Bonmati menunjukkan bahwa menjadi pemain terbaik bukan soal medali, melainkan soal keberanian memikul beban saat semua mata tertuju padamu.
Dua Wajah di Final Euro 2025: Hampton Jadi Pahlawan, Bonmati Tunjukkan Kelas dalam Kekalahan
Final Euro 2025 menjadi panggung drama sepak bola wanita yang tak terlupakan. Di satu sisi, ada Hannah Hampton, penjaga gawang Inggris yang tampil sebagai pahlawan saat adu penalti. Dalam momen krusial, Hampton berhasil menepis beberapa tendangan pemain Spanyol, membuka jalan bagi Chloe Kelly untuk memastikan gelar juara bertahan Inggris dengan tendangan terakhirnya yang menghentak.
Namun di sisi lain, ada Aitana Bonmati, pemain terbaik turnamen, yang menanggung pil pahit kegagalan. Dalam apa yang menjadi final Women’s Euro kedua yang harus ditentukan lewat adu penalti, Bonmati meyakini Spanyol telah melakukan cukup banyak untuk menang. Tapi sepak bola tak selalu adil bagi yang mendominasi.
“Saya sudah kosong. Tidak ada emosi tersisa. Kami semua lelah, sudah berhari-hari berjuang di sini,” ujar Bonmati dengan kejujuran yang menyentuh. Saat dunia menyorot kegagalannya dari titik penalti, ia memilih merespons dengan elegan, tanpa mencari alibi.
Saya harus minta maaf, karena pada akhirnya ini kesalahan saya. Saya gagal mencetak gol. Tapi saya ucapkan selamat untuk rival kami.
Di tengah pesta kemenangan Inggris, Bonmati membuktikan bahwa keanggunan dalam menerima kekalahan adalah bagian dari jiwa seorang juara sejati. Sementara Hampton, di malam yang sama, mengukir namanya sebagai benteng terakhir yang tak tergoyahkan.
Final Euro 2025 bukan hanya soal trofi, tapi tentang bagaimana dua sosok perempuan menunjukkan arti sesungguhnya dari keberanian — satu dalam kemenangan, satu lagi dalam luka.
Superior Tapi Tersingkir: Spanyol Belajar Pelajaran Pahit Sepak Bola di Final Euro 2025
Statistik tak pernah berbohong. Di final Euro 2025, Spanyol tampil dominan dari segala aspek permainan. Mereka mencatatkan 22 tembakan dengan expected goals (xG) mencapai 2.35, berbanding jauh dengan Inggris yang hanya menciptakan 8 peluang dengan xG 1.04. Dalam penguasaan bola, La Roja juga mendikte jalannya pertandingan dengan 64.9% possession.
Namun, seperti yang diungkapkan Aitana Bonmati dengan jujur, “Terkadang, menjadi tim yang superior tidaklah cukup dalam sepak bola.
Bonmati, yang tampil sebagai motor permainan Spanyol, merasakan betul pahitnya realita itu. Mereka bermain indah, menyerang, mengendalikan permainan, tapi pada akhirnya harus tunduk lewat drama adu penalti.
Pelatih Montse Tome pun sepakat, menyebut bahwa timnya pantas keluar sebagai pemenang melihat bagaimana mereka mendominasi. Namun, sepak bola adalah tentang hasil akhir, bukan hanya soal angka di statistik.
Inilah wajah lain dari sepak bola yang sering kali kejam kepada mereka yang bermain indah tapi gagal mengeksekusi peluang. Spanyol boleh kalah di papan skor, tapi mereka menang dalam prinsip dan identitas bermain.
Montse Tome: Spanyol Layak Lebih Tapi Sepak Bola Mengajarkan Cara Menerima Kekalahan
Bagi Montse Tome, final Euro 2025 meninggalkan rasa yang sulit dijelaskan. Setelah bertahun-tahun membangun tim, menyempurnakan filosofi, dan membawa Spanyol ke momen puncak, hasil akhirnya tak sesuai harapan.
“Saya rasa tim ini pantas mendapat lebih. Kami sudah bekerja keras sangat lama untuk sampai di sini,” ucap Tome dengan nada getir dalam konferensi pers usai laga.
Melihat jalannya pertandingan, Spanyol memang tampil mendominasi. Mereka mengendalikan tempo, menciptakan lebih banyak peluang, dan memainkan sepak bola atraktif yang membuat banyak pihak percaya kemenangan tinggal menunggu waktu. Namun, sepak bola punya caranya sendiri menulis naskah — dan sering kali, itu tak sesuai logika.
Terkadang, meski pantas menang, Anda tetap harus belajar menerima kekalahan. Ini adalah olahraga, dan kita harus tahu bagaimana caranya kalah dengan terhormat.
Sementara Spanyol menampilkan dominasi di lapangan, Inggris justru menjalani turnamen dengan cara paling sulit. Mereka kalah di laga pembuka melawan Prancis, harus melalui extra time untuk menyingkirkan Swedia dan Italia, dan faktanya — di fase knockout, Inggris hanya memimpin pertandingan selama empat menit 52 detik, termasuk injury time. Namun, itulah sepak bola: bukan tentang berapa lama Anda unggul, tapi siapa yang bertahan hingga akhir.
Meski pahit, Montse Tome memilih menutupnya dengan elegan: mengakui hasil, memuji rival, dan tetap bangga dengan perjalanan timnya.
Final ini bukan hanya tentang siapa yang menang, tapi tentang bagaimana dua tim besar menunjukkan harga diri mereka, baik dalam kemenangan maupun dalam luka.
Baca Juga :