1920x600-TOP-ID
ID
ID
previous arrow
next arrow

SBOTOP: Pengamat Soroti Inkonsistensi Format Putaran Keempat Kualifikasi Zona Asia

Perdebatan mengenai format kualifikasi Piala Dunia zona Asia kembali mencuat ke permukaan setelah munculnya wacana perubahan sistem di putaran keempat. Sejumlah pengamat sepak bola menilai bahwa kebijakan terbaru dari Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) justru menimbulkan kebingungan dan dinilai tidak konsisten dengan prinsip keadilan kompetisi. Salah satu pengamat yang cukup vokal, Rahmad Alfarizi, menyebut bahwa AFC tampak belum menemukan formula terbaik untuk memastikan sistem kualifikasi yang efisien, kompetitif, dan adil bagi seluruh negara anggota.

Menurut Rahmad, perubahan format yang terjadi hampir di setiap edisi kualifikasi menunjukkan bahwa AFC masih belum memiliki arah yang jelas dalam menata sistem kompetisi. Ia menilai bahwa situasi ini dapat memengaruhi performa tim-tim nasional yang harus menyesuaikan diri dengan perubahan mendadak, baik dari segi jadwal maupun format pertandingan. “Konsistensi adalah kunci untuk menjaga integritas kompetisi. Jika formatnya selalu berubah, tim-tim yang sedang berproses membangun stabilitas permainan bisa kehilangan ritme,” ujarnya.

Perubahan Format yang Membingungkan

Sejak babak kualifikasi Piala Dunia 2026 dimulai, AFC telah beberapa kali mengumumkan revisi teknis dan administratif terhadap sistem kompetisi, terutama setelah perluasan jumlah peserta dari 32 menjadi 48 negara. Pada tahap awal, format tiga putaran dianggap sudah ideal untuk menyaring tim-tim terbaik dari Asia. Namun, keputusan menambah putaran keempat membuat sebagian besar pengamat bertanya-tanya tentang arah kebijakan AFC.

Format terbaru disebut akan menghadirkan kelompok mini turnamen di mana tim-tim yang gagal lolos otomatis melalui putaran ketiga masih memiliki kesempatan bermain di babak tambahan. Dengan sistem seperti ini, AFC berharap lebih banyak negara memiliki peluang tampil di Piala Dunia. Namun, sejumlah pihak menilai pendekatan tersebut justru menimbulkan kesan “kompromi” yang merugikan tim-tim berperingkat menengah.

Rahmad menilai bahwa sistem ini tampak seperti upaya AFC untuk menyenangkan semua pihak, tapi tanpa memperhatikan aspek sportivitas dan keseimbangan kompetitif. “Kalau setiap kali ada perubahan dan alasan utamanya adalah agar lebih banyak negara merasa ‘dilibatkan’, maka kompetisi akan kehilangan makna elitnya. Sepak bola tetap perlu meritokrasi, bukan sekadar rotasi kesempatan,” tegasnya.

Dampak Terhadap Persiapan Tim Nasional

Salah satu masalah terbesar dari inkonsistensi format ini adalah gangguan pada persiapan tim nasional. Setiap pelatih harus merancang strategi dan program latihan berdasarkan format yang jelas — berapa banyak pertandingan, siapa lawannya, dan dalam rentang waktu berapa lama turnamen berlangsung. Ketika AFC kerap mengubah struktur pertandingan, perencanaan jangka panjang menjadi sulit dilakukan. Pelatih Timnas Indonesia, misalnya, beberapa kali menyuarakan kebingungannya terhadap jadwal yang tumpang tindih antara kualifikasi Piala Dunia dan Piala Asia. Dengan adanya putaran tambahan, potensi bentrok jadwal semakin besar. Selain itu, beberapa negara harus berurusan dengan logistik dan perjalanan jauh antar wilayah Asia yang luas, menambah tekanan pada pemain dan staf pelatih.

“Persiapan tak bisa hanya sebatas fisik dan taktik. Format kompetisi juga harus mendukung proses mental pemain. Kalau tiap dua tahun sistemnya berubah, mental adaptasi itu akan terganggu,” ujar Rahmad. Ia menambahkan bahwa perubahan mendadak juga bisa berpengaruh pada proses regenerasi pemain, karena pelatih mungkin enggan memberi kesempatan pada pemain muda di tengah ketidakpastian jadwal kompetitif.

Aspek Komersial dan Tekanan Politik di Balik Keputusan AFC

Banyak pengamat juga melihat bahwa keputusan AFC untuk mengubah format bukan semata-mata soal teknis olahraga, melainkan juga berkaitan dengan aspek komersial dan tekanan politik dari negara anggota. Dalam konteks ekspansi global FIFA yang memberi lebih banyak slot bagi Asia, AFC tentu ingin menunjukkan bahwa mereka mampu mengatur sistem yang lebih “inklusif”.

Namun, inklusivitas tersebut tidak selalu berarti efisiensi. Beberapa analis menilai bahwa AFC terlalu berupaya menyenangkan federasi-federasi kecil dengan memberikan lebih banyak pertandingan, meski dari segi kualitas kompetitif, gap antar tim masih terlalu lebar. Hal ini berpotensi menurunkan daya tarik turnamen dan mengurangi kualitas tontonan.

“Kalau terlalu banyak pertandingan antara tim yang secara peringkat terpaut jauh, kualitas permainan bisa turun drastis. Sponsor dan penonton juga akan bosan melihat hasil yang bisa ditebak,” kata Rahmad. Ia mencontohkan bahwa dalam beberapa edisi sebelumnya, pertandingan antara negara-negara dengan selisih peringkat FIFA yang sangat jauh sering berakhir dengan skor telak, tanpa memberikan hiburan berarti.

Selain faktor ekonomi, keputusan AFC juga dikaitkan dengan dinamika politik internal antar negara anggota. Beberapa sumber menyebut bahwa federasi dari wilayah Timur Tengah memiliki pengaruh besar dalam menentukan arah kebijakan organisasi. Dukungan terhadap format baru dianggap sebagai bagian dari kompromi politik agar semua wilayah merasa memiliki peran yang seimbang dalam sistem kompetisi.

Tantangan Logistik dan Keseimbangan Kompetitif

Salah satu tantangan yang paling disorot dari format putaran keempat ini adalah persoalan logistik. Asia merupakan benua terbesar dengan jarak antar negara yang bisa mencapai ribuan kilometer. Perjalanan dari Asia Timur ke Asia Barat, misalnya, bisa memakan waktu lebih dari 12 jam. Ketika format kompetisi menuntut tim untuk bermain di beberapa lokasi dalam waktu berdekatan, masalah kelelahan dan adaptasi menjadi faktor penting yang bisa memengaruhi hasil pertandingan.

Tim-tim seperti Jepang, Korea Selatan, dan Australia yang sudah terbiasa dengan sistem profesional mungkin lebih mudah beradaptasi. Namun, bagi tim-tim seperti Yaman, Nepal, atau Laos, tantangan logistik dan biaya perjalanan menjadi beban berat. AFC memang menyediakan subsidi untuk federasi yang ekonominya terbatas, tapi sering kali dana tersebut tidak cukup menutupi seluruh kebutuhan perjalanan dan akomodasi.

Rahmad menganggap ini sebagai bentuk ketidakadilan struktural yang harus segera dibenahi. “Kalau AFC ingin memperluas peluang, maka harus ada sistem yang memastikan semua tim punya kesempatan yang sama dari sisi fasilitas dan dukungan logistik. Tanpa itu, kompetisi hanya akan memperlebar kesenjangan antara negara kaya dan negara berkembang,” ujarnya.

Suara dari Pelatih dan Pemain

Reaksi terhadap perubahan format ini juga datang dari para pelatih dan pemain di berbagai negara. Pelatih asal Jepang, Hajime Moriyasu, sempat menyebut bahwa meskipun format baru membuka lebih banyak kesempatan, intensitas pertandingan justru membuat beban fisik pemain meningkat drastis. Ia menilai jadwal yang padat dapat berpengaruh pada performa klub karena banyak pemain yang kembali dari tugas internasional dalam kondisi kelelahan.

Sementara itu, kapten tim nasional Iran, Ehsan Hajsafi, menilai bahwa format baru bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ia mengakui bahwa tim-tim Asia yang sebelumnya sulit lolos kini punya peluang lebih besar. Namun, di sisi lain, kualitas pertandingan harus dijaga agar prestise kualifikasi tidak menurun. “Kami ingin lolos ke Piala Dunia dengan cara yang fair, bukan karena sistemnya terlalu longgar,” katanya.

Solusi yang Diharapkan Pengamat

Para pengamat sepak bola Asia menyerukan agar AFC segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap format kualifikasi ini. Salah satu usulan yang banyak muncul adalah menerapkan sistem yang stabil untuk setidaknya tiga edisi kualifikasi ke depan, agar semua negara dapat menyesuaikan strategi jangka panjang.

Rahmad mengusulkan agar AFC belajar dari sistem yang diterapkan oleh UEFA di Eropa, di mana format kualifikasi cenderung konsisten dari waktu ke waktu, hanya mengalami sedikit penyesuaian teknis. Dengan demikian, tim-tim nasional bisa fokus pada peningkatan performa, bukan pada adaptasi terhadap aturan baru.

Selain itu, ia juga menyarankan agar AFC lebih transparan dalam proses pengambilan keputusan. “Kalau keputusan dibuat di ruang tertutup tanpa konsultasi dengan federasi anggota, maka wajar jika banyak yang merasa dirugikan. AFC perlu melibatkan pelatih, pemain, dan pengamat dalam proses evaluasi sistem,” katanya.

Baca Juga:

TAGS:
CLOSE