Rencana PSSI untuk mengumumkan pelatih baru Timnas Indonesia dalam waktu dekat kembali memantik diskusi hangat di kalangan publik sepak bola nasional. Nama John Herdman disebut-sebut menjadi kandidat terkuat untuk menukangi Timnas Garuda, menggantikan proyek sebelumnya yang dipimpin pelatih asing.
Eks pelatih Timnas Kanada di Piala Dunia 2022 itu diharapkan mampu membawa Indonesia kembali ke jalur prestasi, setidaknya menyamai capaian yang pernah dirasakan publik pada era Shin Tae-yong. Target yang dicanangkan pun sangat ambisius: meloloskan Timnas Indonesia ke Piala Dunia 2030 yang akan digelar di Arab Saudi.
Namun, rencana tersebut tidak sepenuhnya disambut antusias. Sejumlah tokoh sepak bola nasional justru mempertanyakan arah kebijakan PSSI yang kembali mempercayakan kursi pelatih kepala kepada sosok asing, sementara pelatih lokal dinilai terus terpinggirkan.
Kritik dari Tokoh Senior: Jangan Terus Bergantung Pelatih Asing
Salah satu suara kritis datang dari tokoh sepak bola senior Indonesia, Dali Tahir. Ia menilai PSSI terlalu lama bergantung pada pelatih asing dan kurang berani memberi kepercayaan kepada arsitek lokal.
Menurut Dali, Indonesia tidak kekurangan pelatih berkualitas. Banyak di antaranya telah mengantongi lisensi resmi dan pengalaman panjang di berbagai level kompetisi. Namun, kesempatan untuk memimpin Timnas Indonesia nyaris selalu jatuh ke tangan pelatih luar negeri.
“Kenapa harus pelatih asing terus? Padahal kita punya banyak pelatih lokal dengan lisensi yang layak. Kenapa PSSI tidak berani menunjuk pelatih lokal terbaik untuk menangani Timnas Indonesia?” ujar Dali dalam pernyataannya.
Ia menilai kebijakan tersebut tidak hanya menghambat regenerasi pelatih nasional, tetapi juga membuat kompetensi pelatih lokal sulit berkembang di level tertinggi.
Minim Keterlibatan Pelatih Lokal di Timnas
Dali Tahir menyoroti pola yang berulang sejak beberapa tahun terakhir. Pada masa kepelatihan Shin Tae-yong, hanya satu pelatih lokal yang dilibatkan sebagai asisten, yakni Nova Arianto. Situasi serupa kembali terjadi ketika Timnas Indonesia ditangani Patrick Kluivert, yang menunjuk Zulkifli Syukur sebagai asisten, sementara posisi staf lainnya didominasi tenaga asing.
“Kalau seperti ini terus, kapan pelatih lokal bisa benar-benar berbakti untuk bangsa? Mereka selalu jadi pelengkap, bukan aktor utama,” katanya.
Padahal, berdasarkan data resmi PSSI, jumlah pelatih nasional sangat besar. Indonesia tercatat memiliki lebih dari 14 ribu pelatih dengan berbagai kategori lisensi, mulai dari Diploma D hingga AFC Pro. Bahkan, puluhan di antaranya telah mengantongi lisensi tertinggi AFC Pro, yang secara regulasi memenuhi syarat untuk melatih di level internasional.
Banyak Lisensi, Minim Kepercayaan
Ironisnya, banyak pelatih lokal berlisensi tinggi justru kesulitan mendapat tempat di Liga 1. Sebagian besar hanya berkutat di kasta bawah, sementara klub-klub elite lebih memilih mendatangkan pelatih asing.
“Kondisi ini sangat memprihatinkan. Apakah ilmu pelatih lokal dianggap kurang, atau memang ada ketidakpercayaan sistemik terhadap mereka?” kata Dali.
Ia menilai tanpa keberanian dari federasi dan klub, pelatih lokal akan terus terjebak dalam lingkaran stagnasi. Minim jam terbang di level atas membuat mereka sulit bersaing, sekalipun secara lisensi dan teori sudah setara.
Contoh Positif dari Timnas Kelompok Umur
Meski demikian, Dali memberikan apresiasi terhadap langkah PSSI di level kelompok umur. Pada SEA Games 2025, misalnya, Indra Sjafri melibatkan sejumlah mantan pemain Timnas Indonesia dan eks jebolan Primavera sebagai staf kepelatihan.
Nama-nama seperti Kurniawan Dwi Yulianto, Bima Sakti, Zulkifli Syukur, hingga Sahari Gultom mendapat ruang untuk berkontribusi. Pendekatan serupa juga dilakukan Nova Arianto saat memimpin Timnas Indonesia U-17, dengan melibatkan pelatih lokal di berbagai sektor penting.
“Kita sebenarnya punya banyak pelatih muda potensial. Tapi mereka telat mendapat kesempatan. Rata-rata baru dipercaya ketika usia sudah mendekati 50 tahun,” ujarnya.
Saatnya Berani Regenerasi Pelatih
Dali Tahir menegaskan, sepak bola modern menuntut inovasi, energi, dan pemahaman taktik yang terus berkembang. Menurutnya, PSSI harus berani melakukan regenerasi pelatih sejak dini, bukan sekadar mengandalkan nama besar atau reputasi asing.
Ia mencontohkan negara-negara Asia yang berani mempercayakan Timnas mereka kepada pelatih muda lokal, hingga akhirnya mampu bersaing di level internasional.
“Pelatih senior seharusnya tahu diri. Jika tidak punya prestasi kelas dunia, saatnya memberi ruang bagi generasi baru. Ini era pelatih muda berkarya untuk negeri,” tutupnya.
Perdebatan ini menjadi sinyal penting bagi PSSI. Di tengah ambisi besar menembus Piala Dunia 2030, arah pembangunan sepak bola nasional tidak hanya soal hasil instan, tetapi juga keberanian membangun dari dalam negeri.
BACA JUGA :












