1920x600-TOP-ID
ID
ID
previous arrow
next arrow

SBOTOP Alex Pastoor Bicara Blak-blakan: Target Indonesia ke Piala Dunia 2026 Dinilai Terlalu Tidak Logis

Nama Alex Pastoor kembali mencuat di jagat sepak bola nasional setelah pernyataannya yang kontroversial mengenai ambisi Indonesia untuk lolos ke Piala Dunia 2026. Dalam sebuah wawancara eksklusif dengan media Eropa, pelatih asal Belanda itu secara blak-blakan menyebut bahwa target tersebut “tidak logis” jika melihat kondisi riil sepak bola Indonesia saat ini.

“Ambisi itu bagus, tapi harus realistis. Piala Dunia 2026 mungkin masih terlalu jauh bagi Indonesia jika dilihat dari infrastruktur, sistem kompetisi, dan pembinaan pemain muda,” ujar Pastoor dengan nada tenang namun tegas.

Pernyataan itu sontak mengundang berbagai reaksi. Sebagian pihak menilai komentar tersebut terlalu pesimis, sementara sebagian lainnya justru menganggapnya sebagai bentuk kejujuran yang jarang dimiliki pelatih asing. Apa pun tanggapannya, satu hal jelas: Alex Pastoor tidak berbicara untuk menyenangkan siapa pun — ia berbicara berdasarkan pengalaman dan analisis objektif.

Konteks Pernyataan Antara Harapan dan Realitas

Sejak PSSI menetapkan target ambisius untuk membawa tim nasional Indonesia lolos ke Piala Dunia 2026, publik dibuat bersemangat. Terlebih, edisi 2026 nanti akan diikuti oleh 48 negara, membuka peluang lebih besar bagi tim-tim Asia untuk tampil di panggung tertinggi sepak bola dunia.

Namun di sisi lain, Pastoor menilai bahwa peluang itu tidak serta-merta membuat jalan Indonesia menjadi lebih mudah. Ia mengingatkan bahwa sistem kompetisi Asia tetap ketat dan membutuhkan kualitas konsisten dalam jangka panjang.

“Jumlah peserta yang bertambah bukan berarti kualitas persaingan menurun. Negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, Iran, Arab Saudi, bahkan Vietnam dan Uzbekistan memiliki program pembinaan yang jauh lebih mapan. Indonesia masih harus mengejar banyak hal sebelum bisa bersaing di level itu,” katanya.

Menurut Pastoor, yang pernah mengamati langsung perkembangan sepak bola Asia saat melatih di kawasan ini, fondasi utama yang menentukan keberhasilan bukanlah euforia atau ambisi sesaat, melainkan struktur dan sistem yang berkelanjutan.

Masalah Fundamental Dari Liga Hingga Pembinaan Usia Muda

Pastoor menilai, ada tiga aspek utama yang membuat target ke Piala Dunia 2026 sulit diwujudkan secara logis. Pertama, kualitas kompetisi domestik yang belum konsisten. Ia menyebut bahwa liga di Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam hal jadwal, fasilitas, dan kualitas lapangan.
“Di beberapa pertandingan, saya melihat tim kesulitan bermain karena kondisi rumput atau pencahayaan stadion. Bagaimana mungkin pemain bisa berkembang optimal jika elemen dasar seperti itu belum maksimal?” ucapnya.

Kedua, pembinaan pemain muda yang belum terintegrasi dengan baik. Ia membandingkan dengan sistem akademi di Eropa yang memiliki jalur jelas dari usia muda hingga tim senior.
“Di Belanda, pemain berusia 12 tahun sudah dibina dengan metodologi yang sama sampai ia masuk tim profesional. Indonesia punya banyak talenta, tapi sistemnya belum terarah. Banyak pemain muda berbakat yang akhirnya hilang karena tidak ada kesinambungan,” tambahnya.

Ketiga, manajemen dan infrastruktur federasi yang masih sering berubah arah. Menurutnya, visi jangka panjang sering kali terganggu oleh pergantian kepemimpinan atau proyek yang tidak berkelanjutan.
“Kalau setiap dua tahun ganti arah, sulit membangun sesuatu yang solid. Sepak bola bukan proyek satu musim, tapi proses bertahun-tahun,” ujarnya lugas.

Ambisi vs Realitas Dua Hal yang Harus Seimbang

Bagi Pastoor, ambisi adalah hal yang sangat penting. Ia mengakui bahwa tanpa target besar, sebuah negara tidak akan pernah melangkah maju. Namun ia menegaskan bahwa ambisi tanpa fondasi logis justru bisa menjadi bumerang.

“Saya suka ambisi. Saya suka ketika sebuah negara ingin bermimpi besar. Tapi mimpi harus diiringi rencana yang konkret dan realistis. Anda tidak bisa membangun gedung 10 lantai jika pondasinya masih tanah liat,” katanya sambil tersenyum.

Pernyataan itu menjadi refleksi mendalam bagi dunia sepak bola Indonesia. Pasalnya, selama ini banyak program jangka pendek yang muncul hanya untuk mengejar hasil instan — entah demi prestise politik, popularitas federasi, atau kepuasan publik sesaat.

Pastoor juga menyinggung bahwa sepak bola modern tidak bisa lagi mengandalkan motivasi semata. Semua harus berbasis data, analisis, dan pengembangan ilmiah.
“Di Eropa, setiap pemain muda sudah diawasi dengan data performa, pola latihan, dan perkembangan psikologisnya. Di Asia Tenggara, banyak yang masih mengandalkan insting dan keberuntungan,” ujarnya.

Perbandingan dengan Negara Asia Lain

Sebagai pelatih yang pernah berkarier di Asia, Alex Pastoor memiliki pandangan luas tentang bagaimana negara-negara di kawasan ini mengelola sepak bola mereka. Ia memberikan contoh konkret mengenai negara-negara yang berhasil melakukan lompatan besar karena memiliki arah jelas.

“Lihat Jepang. Mereka membangun sistem J-League dengan profesionalisme sejak 1990-an. Semua klub wajib memiliki akademi, pelatih berlisensi, dan fasilitas pelatihan berstandar tinggi. Hasilnya baru terlihat setelah 20 tahun,” paparnya.

Hal serupa juga terjadi di Korea Selatan dan Qatar. Negara-negara itu menginvestasikan waktu panjang untuk menyiapkan generasi emas. “Qatar, misalnya, membangun Aspire Academy pada awal 2000-an. Dua dekade kemudian, mereka menjuarai Piala Asia dan tampil di Piala Dunia sebagai tuan rumah.”

Menurut Pastoor, Indonesia memiliki potensi serupa — tetapi belum ada kesinambungan antara ide dan implementasi.
“Setiap periode punya visi berbeda. Kadang ingin meniru Jepang, kadang Eropa, kadang Amerika Latin. Semua bagus, tapi tanpa konsistensi, hasilnya tidak akan nyata,” ujarnya.

Pengalaman Pribadi Saat Melatih di Indonesia

Saat masih menjabat pelatih, Pastoor sudah merasakan sendiri berbagai tantangan unik di dunia sepak bola Indonesia. Ia kagum dengan semangat para pemain dan antusiasme suporter, namun juga frustrasi dengan aspek-aspek non-teknis yang sering menghambat perkembangan.

“Saya suka pemain Indonesia. Mereka cepat, punya teknik bagus, dan berani. Tapi kadang kurang disiplin dalam hal taktikal dan latihan. Itu bukan salah mereka, tapi karena sistem pembinaan yang tidak terbiasa dengan detail kecil,” ujarnya.

Ia juga menyoroti bahwa kultur sepak bola Indonesia sangat emosional. Kemenangan sering direspons secara berlebihan, sementara kekalahan memunculkan tekanan ekstrem dari publik.
“Di Eropa, orang menilai berdasarkan proses. Di sini, dua kekalahan bisa membuat pelatih dipecat. Ini menciptakan iklim tidak stabil,” katanya.

Meski begitu, Pastoor tetap mengaku menikmati waktunya di Indonesia. Ia bahkan mengatakan bahwa atmosfer stadion di Indonesia adalah salah satu yang paling luar biasa di dunia.
“Bobotoh, Bonek, Jakmania — mereka luar biasa. Energi mereka bisa membuat Anda merinding. Tapi energi itu harus disalurkan untuk membangun kesabaran jangka panjang, bukan hanya tuntutan hasil cepat,” tambahnya.

Reaksi dari PSSI dan Publik Tanah Air

Setelah pernyataan Pastoor tersebar luas, pihak PSSI akhirnya memberikan tanggapan resmi. Sekretaris Jenderal federasi mengatakan bahwa pihaknya menghormati pendapat sang pelatih, namun menegaskan bahwa target Piala Dunia bukan sekadar mimpi kosong.

“Kami paham pernyataan itu datang dari sudut pandang teknis. Tapi bagi kami, target ini adalah bentuk motivasi dan semangat untuk meningkatkan standar. Kalau tidak menargetkan Piala Dunia, kapan lagi kita akan bermimpi besar?” ujarnya.

Sementara itu, di media sosial, opini publik terbelah dua.
Sebagian netizen menilai bahwa Pastoor hanya mengatakan kebenaran yang pahit, sementara sebagian lainnya merasa komentarnya terkesan meremehkan potensi bangsa.
“Dia tidak salah. Kita memang harus realistis. Tapi semangat dan keinginan untuk maju tidak boleh padam,” tulis salah satu pengguna di platform X (Twitter).

Ada juga yang menilai bahwa seharusnya komentar seperti ini menjadi bahan introspeksi, bukan bahan perdebatan. “Yang disampaikan Pastoor justru bisa jadi titik balik kalau PSSI mau belajar. Jangan alergi terhadap kritik.”

Pandangan Akademisi dan Pengamat Sepak Bola

Beberapa pengamat sepak bola nasional turut memberikan tanggapan terkait pernyataan Pastoor. Dosen olahraga dari Universitas Negeri Yogyakarta, Dr. Rahmad Yulianto, mengatakan bahwa komentar tersebut sangat masuk akal secara akademis.

“Kalau dilihat dari data FIFA dan AFC, jarak Indonesia dengan negara top Asia masih cukup jauh. Jadi pernyataan bahwa target 2026 tidak logis bukan berarti pesimistis, tapi realistis secara ilmiah,” ujarnya.

Sementara pengamat sepak bola, Pandit Bola, menilai bahwa kritik seperti ini seharusnya dijadikan bahan koreksi kebijakan jangka panjang.
“Bukan berarti kita tidak boleh bermimpi besar, tapi harus tahu dari mana kita mulai. Kalau fondasi masih rapuh, jangan memaksakan berdiri di puncak,” katanya.

Baca Juga:

TAGS:
CLOSE