Dunia sepak bola Indonesia kembali diramaikan oleh perdebatan yang tak kunjung usai: soal regulasi pemain asing. Ketika Liga Super mulai melonggarkan aturan dengan memberi izin kepada klub untuk merekrut hingga 11 pemain asing dalam satu musim, gelombang kritik datang dari berbagai arah. Salah satu suara paling keras datang dari Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia (APPI).
APPI, yang selama ini menjadi garda terdepan dalam membela hak dan kesejahteraan pesepakbola Indonesia, secara tegas meminta agar kebijakan ini segera ditinjau ulang. Alasannya sederhana namun krusial: kesempatan bermain untuk talenta lokal semakin terancam, dan dampaknya bisa sangat merugikan bagi masa depan sepak bola nasional.
Regulasi Baru Apa yang Sebenarnya Berubah
Regulasi yang dikeluarkan oleh otoritas Liga Super — baik federasi maupun operator liga — menyatakan bahwa setiap klub kini boleh mendaftarkan hingga 11 pemain asing dalam satu musim kompetisi. Meskipun hanya 6 yang diperbolehkan tampil dalam satu laga (5 non-ASEAN dan 1 dari ASEAN), fleksibilitas total 11 pemain dianggap memberi kebebasan besar pada klub untuk merotasi skuad asing mereka.
Langkah ini disebut sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas liga, menarik perhatian sponsor internasional, dan menaikkan level persaingan di lapangan.
Namun, bagi APPI, manfaat tersebut harus ditimbang secara adil dengan risiko yang ditimbulkan, terutama terhadap pemain lokal yang kini harus bersaing ketat tidak hanya dengan sesama pemain Indonesia, tetapi juga dengan gelombang besar pemain asing.
APPI Angkat Bicara “Regulasi Ini Harus Dievaluasi!”
Dalam sebuah pernyataan resmi, Ketua Umum APPI, Ferdinand Sinaga, menegaskan bahwa pihaknya sangat mengkhawatirkan efek domino dari regulasi tersebut. Menurutnya, pembatasan kuota pemain asing sebelumnya sudah cukup memberikan keseimbangan antara kualitas dan pengembangan pemain lokal. Tapi dengan perluasan menjadi 11, kekhawatiran menjadi nyata.
“Kami tidak menolak kehadiran pemain asing. Tapi ketika jumlahnya terlalu banyak, ini berpotensi menutup jalan bagi pemain muda Indonesia untuk berkembang,” ujar Ferdinand.
APPI juga mengingatkan bahwa banyak pemain lokal — terutama usia 18–23 tahun — yang mulai kehilangan menit bermain. Klub cenderung memilih pemain asing karena dianggap lebih siap secara fisik dan mental, sementara talenta lokal harus menunggu kesempatan yang semakin sempit.
Dampak Langsung ke Pemain Lokal Statistik yang Mengkhawatirkan
Dalam satu musim terakhir, setelah diberlakukannya regulasi baru secara bertahap, terjadi penurunan signifikan dalam rata-rata menit bermain pemain lokal. Berdasarkan data yang dirilis oleh APPI dan diolah dari 18 klub peserta Liga Super, ditemukan fakta berikut:
- Penurunan menit bermain rata-rata pemain lokal sebesar 28% dibandingkan musim sebelumnya.
- Pemain U-23 hanya mengisi 13% dari total menit pertandingan, padahal federasi menargetkan minimal 20%.
- Hanya 3 dari 18 klub yang konsisten memberikan menit bermain reguler bagi pemain lokal di posisi kunci seperti gelandang tengah dan bek tengah.
Kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan. Apalagi, sebagian besar pemain asing yang datang bukan berasal dari liga top dunia. Artinya, banyak dari mereka memiliki level yang tidak jauh berbeda dengan pemain lokal, namun tetap lebih diutamakan karena dianggap “lebih siap”.
Perspektif Klub Investasi atau Ketergantungan
Dari sisi klub, perekrutan pemain asing dalam jumlah besar dianggap sebagai bentuk investasi jangka pendek untuk meraih prestasi instan. Klub seperti Bhayangkara FC, PSS Sleman, dan Borneo FC menyatakan bahwa pemain asing memang menjadi penentu performa di lapangan.
Namun, banyak pengamat menilai bahwa pola pikir ini justru membentuk ketergantungan jangka panjang, di mana klub tidak membangun fondasi dari pemain lokal, tetapi terus-menerus mengandalkan impor. Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa membuat klub kehilangan identitas dan akar lokalnya.
Contoh konkret adalah ketika salah satu klub Liga Super menurunkan starting XI yang hanya berisi dua pemain Indonesia, dan bahkan keduanya tidak menyelesaikan pertandingan. Sisanya diisi oleh pemain asing dari berbagai negara, mulai dari Brasil, Argentina, hingga Korea Selatan.
Suara dari Pelatih Lokal dan Akademi
Pelatih lokal pun mulai menyuarakan kegelisahannya. Banyak yang mengaku kesulitan untuk mempertahankan program pengembangan pemain muda karena tekanan manajemen untuk memasang pemain asing terus-menerus.
Pelatih kepala salah satu akademi elit di Jakarta mengungkapkan:
“Kami habiskan waktu bertahun-tahun membina anak-anak dari usia 12 tahun, tapi begitu mereka promosi ke tim utama, peluangnya minim. Klub sudah terlanjur invest ke pemain asing.”
Di sisi lain, pelatih tim nasional U-20 juga mengungkapkan keresahan soal minimnya opsi pemain muda dengan menit bermain reguler. Hal ini menyulitkan seleksi pemain timnas karena aspek pengalaman dan mental bertanding tidak bisa diperoleh hanya dari latihan.
Perbandingan dengan Negara Tetangga
Indonesia bukan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang membuka pintu bagi pemain asing. Namun, kebijakan di negara lain tampak lebih seimbang.
- Thailand: Maksimal 5 pemain asing, dengan komposisi 3 non-Asia, 1 Asia, dan 1 ASEAN. Fokus tetap pada pembinaan lokal.
- Vietnam: Maksimal 3 pemain asing, tapi menit bermain pemain lokal sangat dijaga.
- Malaysia: 5 pemain asing, namun diwajibkan memberi menit bermain kepada pemain U-23 lokal.
Dengan regulasi yang lebih konservatif, negara-negara ini justru berhasil mengembangkan pemain lokal secara konsisten dan kini mulai menuai hasil di level internasional. Misalnya, Vietnam sudah dua kali lolos ke perempat final AFC U-23 dan mencatat sejarah di Piala Asia.
Apa yang Diusulkan APPI
APPI tidak datang hanya dengan kritik, tetapi juga membawa sejumlah usulan konkret:
- Evaluasi kuota asing secara bertahap dengan target kembali ke angka maksimal 6 dalam dua musim ke depan.
- Wajibkan setiap klub memberi menit bermain minimal kepada pemain U-23 lokal di setiap pertandingan.
- Peningkatan insentif untuk pengembangan pemain lokal, baik dalam bentuk subsidi federasi maupun keringanan registrasi pemain muda.
- Audit kualitas pemain asing yang masuk, agar klub tidak hanya mengisi kuota dengan pemain tanpa kontribusi signifikan.
Menurut APPI, solusi ini bisa menciptakan keseimbangan yang sehat antara kompetisi yang berkualitas dan ekosistem pembinaan pemain lokal yang berkelanjutan.
Reaksi Masyarakat dan Media
Respons publik atas pernyataan APPI cukup beragam. Di media sosial, banyak netizen mendukung langkah asosiasi pemain ini.
Salah satu komentar di Twitter berbunyi:
“Akhirnya ada yang bersuara! Sepak bola Indonesia harus jadi milik anak bangsa. Jangan semua diserahkan ke pemain asing.”
Namun, tak sedikit pula yang bersikap realistis. Beberapa netizen menyebut bahwa banyak pemain lokal yang belum siap secara profesional, sehingga klub memang butuh pemain asing untuk menjaga performa.
Diskusi ini pun menyebar ke berbagai forum sepak bola, kanal YouTube, dan grup suporter. Di tengah perbedaan pandangan, ada satu kesamaan: semua pihak ingin melihat sepak bola Indonesia maju dan berkembang dengan identitas nasional yang kuat.
Suara dari Pemain Lokal
Pemain lokal sendiri menyambut baik keberanian APPI bersuara. Salah satu gelandang muda dari PSIS Semarang mengatakan:
“Kalau APPI tidak bersuara, mungkin kami hanya bisa pasrah. Sekarang kami punya harapan agar ada perlindungan regulasi untuk pemain Indonesia.”
Beberapa pemain senior bahkan menyebut bahwa persaingan sehat dengan pemain asing itu bagus, asalkan klub tetap memberi ruang berkembang bagi pemain lokal.
Baca Juga: