Final Liga Champions 2024/2025 bukan hanya menjadi panggung kejayaan Paris Saint-Germain (PSG) yang tampil luar biasa dengan membantai Inter Milan 5-0. Di balik sorotan lampu stadion dan gegap gempita para pendukung, terdapat momen penting lainnya yang tak tertangkap kamera siaran langsung: perbincangan strategis antara Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, dan pelatih kepala Timnas Indonesia, Patrick Kluivert. Dari tribun penonton, dua tokoh berpengaruh di sepak bola Indonesia ini melakukan diskusi serius, tidak hanya tentang jalannya pertandingan, tetapi juga masa depan sepak bola nasional.
Apa yang mereka bicarakan? Bagaimana momen ini bisa menjadi refleksi dan titik balik dalam membangun Timnas Indonesia? Artikel ini akan mengulas secara lengkap obrolan dari tribun yang bisa berdampak besar bagi sepak bola Indonesia.
Sebuah Pertemuan di Tribun Munich
Di Allianz Arena, Munich, ribuan pasang mata menyoroti pertarungan antara PSG dan Inter Milan. Namun di tribun kehormatan, sorotan kami tertuju pada dua sosok yang berdiri berdampingan: Erick Thohir, mantan Presiden Inter Milan, dan Patrick Kluivert, legenda Belanda yang kini melatih Timnas Indonesia. Mereka tak sekadar menonton, melainkan mengamati.
Erick dan Kluivert ditemani oleh Denny Landzaat dan Alex Pastoor—keduanya bagian dari tim pelatih Timnas Indonesia. Suasana nobar itu bukan sekadar euforia, tetapi ajang belajar dari para maestro. Diskusi mereka tentang pressing tinggi PSG, transisi cepat dari pertahanan ke serangan, hingga struktur organisasi permainan Inter, terjadi dalam waktu nyata. Bukan analisis pasca-pertandingan, tapi pemahaman taktik sambil melihat langsung bagaimana strategi berjalan (atau gagal) di lapangan.
PSG dan Inter Dua Filosofi Sepak Bola Berbeda
Menurut penuturan Erick Thohir, diskusi antara dirinya dan Kluivert difokuskan pada gaya bermain dua tim finalis. PSG mengadopsi permainan agresif berbasis penguasaan bola dan mobilitas tinggi. Tim asuhan Luis Enrique ini tampil menyerang sejak menit pertama, menekan dari lini depan, dan tak memberi ruang bagi Inter untuk berkembang.
Sebaliknya, Inter Milan tampil konservatif. Taktik Simone Inzaghi menekankan kedisiplinan lini belakang dan serangan balik cepat. Namun, dalam laga ini, Inter justru seperti kehilangan jati diri. PSG menghancurkan pertahanan Inter dengan kecepatan, teknik, dan ketajaman luar biasa.
Patrick Kluivert dengan lugas berkata pada Erick, “Inilah permainan modern. Bukan hanya teknik, tapi tempo. Dan yang paling penting: keberanian mengambil risiko.” Erick mengangguk, mencatat bahwa keberanian adalah elemen yang selama ini masih minim dalam permainan Timnas Indonesia ketika menghadapi tim-tim besar Asia.
Pelajaran yang Bisa Diambil untuk Timnas Indonesia
Dari obrolan ringan di tribun, muncul analisis mendalam. Salah satu bahasan paling menarik adalah bagaimana struktur permainan PSG bisa diterapkan (dengan adaptasi) ke dalam sistem Timnas Indonesia. Tentu tidak berarti Indonesia harus bermain seperti PSG, tetapi filosofi dasarnya yang bisa diadopsi.
- Penguasaan Bola yang Bertanggung Jawab
Kluivert menyoroti pentingnya penguasaan bola yang tidak sia-sia. “Tidak cukup hanya punya possession, tapi harus tahu ke mana dan untuk apa,” ujarnya. Ini menjadi kritik halus terhadap permainan Timnas Indonesia yang kadang terlalu horizontal tanpa progresi yang signifikan.
- Transisi Cepat
Kunci utama keberhasilan PSG malam itu adalah transisi. Dari kehilangan bola ke bertahan, dan dari bertahan ke menyerang, mereka melakukannya dalam hitungan detik. Hal ini membutuhkan kebugaran, organisasi taktik, dan komunikasi.
- Kepercayaan Diri Pemain
Erick menambahkan bahwa mentalitas adalah aspek yang tak kalah penting. “Pemain PSG main tanpa ragu. Kita di Indonesia masih sering grogi kalau lawan tim yang lebih besar. Ini PR kita bersama.”
Strategi Regenerasi dan Pembangunan Filosofi Permainan
Dari diskusi itu, Erick dan Kluivert sepakat bahwa salah satu hal yang harus diperkuat di Indonesia adalah pembentukan filosofi permainan jangka panjang. Mereka membicarakan pentingnya filosofi sepak bola nasional yang tidak bergantung pada siapa pelatihnya, tetapi menjadi identitas yang melekat pada semua level usia.
Mereka mencontohkan bagaimana Belanda membentuk Total Football sebagai dasar, Spanyol membentuk Tiki-Taka dari akar La Masia, dan Jerman dengan pressing intens dan sistematis. Indonesia belum sampai ke titik itu. Namun, diskusi malam itu di tribun memberi harapan bahwa arah itu mulai terbuka.
Kluivert menekankan, “Kita perlu bangun dari akar, bukan dari atap. Filosofi harus ada dari U-16 hingga senior.”
Konteks Emosional Erick dan Inter Milan
Erick Thohir menyaksikan Inter Milan takluk 0-5 dengan ekspresi yang bercampur aduk. Ia pernah menjadi Presiden klub tersebut. Ada nostalgia, ada kekecewaan. Namun, sebagai profesional dan kini Ketua Umum PSSI, ia memisahkan emosi dengan tugas negara.
Dalam diskusi tersebut, ia tak menyalahkan pelatih Inter. Sebaliknya, ia menjadikan kekalahan itu sebagai refleksi bahwa sepak bola adalah permainan penuh variabel. “Kalau kita tidak siap di semua aspek, bisa dihukum oleh lawan yang lebih siap.”
Ia menambahkan, “Indonesia harus belajar menjadi tim yang bisa membaca permainan dan mengatur ritme sendiri, bukan selalu mengikuti ritme lawan.”
Menyatukan Visi dari Tribun ke Lapangan
Diskusi antara Erick dan Kluivert menjadi lebih konkret ketika membahas implementasi ke dalam rencana jangka pendek Timnas. Mereka membicarakan laga penting yang akan datang, termasuk lanjutan Kualifikasi Piala Dunia dan ASEAN Cup. Kluivert menyebut bahwa ia akan mencoba menerapkan “compact pressing with dynamic build-up” seperti yang diperlihatkan PSG.
Denny Landzaat mencatat beberapa hal teknis yang bisa langsung dilatih dalam pemusatan latihan berikutnya, termasuk koordinasi lini belakang dan pola pergerakan gelandang saat transisi.
Membangun Budaya Diskusi Strategis
Yang istimewa dari momen ini bukan hanya karena Erick dan Kluivert hadir menyaksikan laga final bersama, melainkan karena mereka membangun budaya diskusi strategis secara terbuka. Biasanya, diskusi seperti ini tertutup dan eksklusif. Namun, dengan membagikan intisari obrolan mereka ke publik, Erick mengajak masyarakat ikut belajar.
Sepak bola bukan sekadar emosi. Sepak bola adalah ilmu, strategi, dan kerja kolektif. Dan diskusi ini menjadi contoh nyata bahwa pembelajaran tidak berhenti di ruang rapat atau pusat latihan. Bahkan dari tribun pun, wawasan bisa bertumbuh.
Baca Juga: