Tіmnаѕ Indоnеѕіа U-23 hаruѕ mеngubur іmріаn meraih trоfі Pіаlа AFF U-23 2025 setelah tаkluk tіріѕ 0-1 dari Vіеtnаm U-23 dі fіnаl уаng berlangsung dі Stаdіоn Utаmа Gеlоrа Bung Kаrnо (SUGBK), Jakarta, раdа Selasa malam, 29 Julі 2025.
Sаtu-ѕаtunуа gоl dalam реrtаndіngаn іnі dicetak oleh Nguуеn Cоng Phuоng раdа mеnіt ke-37. Gоl tersebut mеnjаdі реmbеdа ѕеkаlіguѕ mеngukuhkаn dominasi Vietnam U-23 sebagai juara tiga kаlі bеrturut-turut dі аjаng regional іnі, di bawah kоmаndо реlаtіh Kim Sаng-ѕіk.
Namun, kekalahan Garuda Muda tidak hanya soal skor. Ada pelajaran penting yang bisa dipetik dari laga penuh tekanan ini — terutama tentang pentingnya menjaga ketenangan dan mental bertanding.
Emosi Menguasai Garuda Muda
Pelatih sepak bola nasional, Rasiman, memberikan pandangan kritis terhadap performa anak-anak asuh Shin Tae-yong. Ia menilai bahwa Timnas Indonesia U-23 bermain terlalu emosional dan mudah terpancing provokasi.
“Sejak awal pertandingan, saya melihat pemain bermain dengan emosi yang tinggi. Itu sangat memengaruhi performa mereka,” ujar Rasiman kepada Bola.com, Rabu (30/7/2025).
Menurut Rasiman, media juga turut berperan dalam membentuk persepsi negatif terhadap gaya bermain Vietnam yang dianggap suka mengulur waktu atau bermain keras. Akibatnya, para pemain Indonesia seakan sudah memasuki lapangan dengan amarah yang siap meledak.
“Kalau kita lihat dari sisi bench, bahkan tim pelatih pun terlihat terpancing emosi. Dalam pertandingan sebesar ini, seharusnya kita tampil lebih tenang dan fokus. Di level final seperti ini, emosi justru bisa jadi penghalang kemenangan,” lanjutnya.
Kecerobohan di Set Piece Berbuah Petaka
Selain sisi mental, Rasiman juga menyoroti lemahnya konsentrasi saat menghadapi situasi bola mati. Gol tunggal Vietnam tercipta melalui skema set piece yang menurutnya seharusnya bisa diantisipasi.
“Gol itu terlalu mudah. Bola mengarah ke tiang jauh, tinggi, dan lambat. Seharusnya bek atau bahkan kiper bisa membaca arah bola dan mengantisipasinya,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa kurangnya disiplin dalam menjaga posisi dan membaca pergerakan lawan membuat gawang Indonesia terbobol secara ‘murah’.
“Bola lambung seperti itu harusnya jadi makanan bagi bek nasional. Tapi kali ini, pemain tampak hanya fokus pada bola, tidak pada lawan. Empat pemain Vietnam tidak terjaga dan akhirnya mencetak gol,” jelasnya.
Permainan Drama dan Strategi Vietnam
Pasca gol tersebut, pertandingan berubah menjadi penuh drama. Vietnam dengan cerdas memanfaatkan keunggulan untuk mengendalikan ritme dan memancing emosi lawan.
“Vietnam sangat cerdas. Mereka main lambat, buang waktu, jatuh sedikit langsung pura-pura cedera. Tapi itu sah-sah saja dalam sepak bola. Kita tidak bisa menyalahkan taktik seperti itu,” ungkap Rasiman.
Justru, menurutnya, Indonesia yang seharusnya bisa merespons dengan ketenangan, malah ikut larut dalam emosi.
“Sayangnya, pelatih kita pun ikut terbawa emosi. Bahkan terlihat bersitegang dengan bench lawan. Ini justru memperparah situasi karena pemain jadi semakin tidak fokus dan panik,” katanya.
Mental Juara Butuh Ketahanan Emosi
Rasiman menutup dengan pesan penting bahwa untuk menang di level tinggi, bukan hanya kualitas teknis yang dibutuhkan, tapi juga kontrol emosi dan ketenangan.
“Final bukan hanya soal skill, tapi soal ketenangan. Kalau terus dikuasai emosi, konsentrasi bisa buyar. Sebaliknya, jika tetap tenang, kita bisa mengontrol permainan dan peluang menang tetap terbuka,” pungkasnya.
Kеkаlаhаn іnі menjadi реlаjаrаn berharga bаgі Timnas Indоnеѕіа U-23. Harapan ke depan adalah mereka bisa tumbuh lebih matang, tidak hanya secara taktik, tetapi juga secara mental. Karena dalam sepak bola, juara sejati adalah mereka yang mampu bertarung dengan kepala dingin, seberat apa pun tekanannya.
BACA JUGA :