Paris Saint-Germain kembali menunjukkan kelas Eropa mereka setelah menyingkirkan Arsenal dan mengamankan tiket ke final Liga Champions musim ini. Bertanding di kota yang sama tempat Arsenal terakhir kali merasakan atmosfer final 19 tahun lalu, mimpi The Gunners harus pupus meski tampil penuh semangat.
Gol cepat dari Fabian Ruiz di awal laga langsung mengguncang kepercayaan diri tim tamu. Meskipun Arsenal mendominasi penguasaan bola dan terus menekan, lini belakang PSG tampil disiplin. Peluang emas sempat hadir saat Vitinha mendapat kesempatan dari titik putih, namun David Raya tampil heroik dengan penyelamatan krusial yang sempat membangkitkan harapan.
Namun, harapan itu tak bertahan lama. Achraf Hakimi menjadi pahlawan tuan rumah dengan mencetak dua gol penting yang memperbesar keunggulan agregat PSG. Bukayo Saka sempat memperkecil kedudukan dan menambah tensi pertandingan, tetapi skor akhir 2-1 di malam itu—dan 3-1 secara agregat—cukup untuk menutup lembaran Eropa Arsenal musim ini.
Kemenangan ini menempatkan PSG di final Liga Champions, di mana mereka akan berhadapan dengan Inter Milan. Bagi tim asuhan Luis Enrique, ini adalah kesempatan emas untuk menebus kegagalan-kegagalan sebelumnya dan menulis sejarah baru di benua biru.
Adsd
Paris Saint-Germain sukses memanfaatkan celah sekecil apa pun dalam duel panas melawan Arsenal, meskipun sempat berada di bawah tekanan intens sejak menit awal. The Gunners langsung tancap gas ketika Declan Rice menyambut umpan silang Jurrien Timber, namun sundulannya melenceng dari sasaran. Tak berhenti di situ, Gianluigi Donnarumma dipaksa berjibaku menyelamatkan gawangnya dari dua peluang emas Martin Odegaard dan Gabriel Martinelli dalam kurun lima menit yang mencekam.
Namun di tengah gempuran, PSG menunjukkan kualitas khas tim besar. Serangan balik cepat yang dipimpin Khvicha Kvaratskhelia hampir mengubah keadaan saat tendangannya menghantam tiang, memberi peringatan nyata atas bahaya dari tim asuhan Luis Enrique. Dalam momen transisi lainnya, Declan Rice melakukan pelanggaran terhadap Kvaratskhelia, membuatnya diganjar kartu kuning dan memberi PSG tendangan bebas strategis.
Arsenal akhirnya harus membayar mahal atas kelengahan dalam situasi tersebut. Sundulan Thomas Partey yang tak sempurna langsung disergap Fabian Ruiz. Gelandang asal Spanyol itu mengontrol bola dengan dada sebelum melepas tembakan dari luar kotak penalti. Bola sempat berbelok arah setelah membentur William Saliba, membuat David Raya tak berdaya untuk mencegah gol.
Dramatis di Babak Kedua PSG Makin Perkasa, Arsenal Terlambat Bangkit
Paris Saint-Germain tampil dominan selepas jeda dalam laga leg kedua semifinal Liga Champions melawan Arsenal, dan berhasil memaksimalkan momentum mereka dengan cara yang tak terduga. Tekanan yang konsisten sejak awal babak kedua akhirnya berbuah hadiah penalti yang kontroversial. Bola hasil tendangan Achraf Hakimi mengenai tangan Myles Lewis-Skelly yang terangkat, dan meski tak ada protes dari para pemain PSG, VAR turun tangan dan menghadiahkan penalti yang mengejutkan banyak pihak.
Namun, drama belum usai. David Raya kembali jadi pahlawan Arsenal dengan menggagalkan eksekusi Vitinha dari titik putih—sebuah momen yang seharusnya bisa menjadi titik balik. Tapi alih-alih bangkit, Arsenal justru kembali lengah. Hanya beberapa menit berselang, Hakimi menebus kegagalan penalti rekan setimnya dengan sebuah gol indah, melepaskan tembakan melengkung yang memperdaya Raya dan menggandakan keunggulan PSG.
Arsenal mencoba merespons dengan cepat. Bukayo Saka, yang sebelumnya digagalkan oleh Donnarumma dalam duel satu lawan satu, akhirnya mampu menaklukkan sang penjaga gawang setelah melewati hadangannya dan menyarangkan bola ke gawang. Gol itu memberi harapan bagi tim asuhan Mikel Arteta, namun waktu tak berpihak pada mereka.
PSG ke Final, Harapan Treble Tetap Hidup Arsenal Gagal Angkat Trofi Lagi
Paris Saint-Germain memastikan langkah mereka ke final Liga Champions dengan kemenangan agregat 3-1 atas Arsenal, mengakhiri ambisi The Gunners untuk mengukir sejarah musim ini. Meski sempat dibuat tegang di 15 menit terakhir akibat peluang emas yang gagal dimaksimalkan oleh pemain muda Arsenal berusia 23 tahun, PSG tetap mampu menjaga keunggulan mereka hingga peluit akhir.
Laga yang menegangkan di Paris itu memperlihatkan betapa tipisnya margin di level elite. Arsenal, yang tampil penuh determinasi selama dua leg, kembali harus menerima kenyataan pahit: musim ini akan berakhir tanpa trofi. Sejak menjuarai Piala FA di musim pertama Mikel Arteta pada 2020, tim London Utara itu belum mampu menambah koleksi gelar utama.
PSG, di sisi lain, menjaga ambisi mereka untuk meraih treble tetap hidup. Dengan gelar Ligue 1 telah diamankan dan final Piala Prancis di depan mata, tim asuhan Luis Enrique kini tinggal selangkah lagi untuk mengukir sejarah besar. Di antara sorotan penyerang tajam dan lini tengah kreatif, penjaga gawang Arsenal justru tampil sebagai salah satu yang paling menonjol di sepanjang duel dua leg—penyelamatannya membuat perbedaan dan membuat harapan tetap menyala hingga akhir.
Namun seperti di banyak kisah Eropa lainnya, ‘hampir’ saja tak pernah cukup. Arsenal telah melangkah jauh, mungkin lebih dekat dari yang terlihat di skor akhir, tapi mereka kembali harus menunggu untuk kejayaan di pentas terbesar benua.
Kami Lebih Baik, Tapi Liga Champions Tak Selalu Adil
Mikel Arteta tidak bisa menyembunyikan rasa bangganya terhadap performa Arsenal meski timnya harus tersingkir dari Liga Champions. Dalam laga penuh drama melawan Paris Saint-Germain, The Gunners menunjukkan intensitas, keberanian, dan kualitas yang menurut sang manajer seharusnya cukup untuk membawa mereka lolos ke final. Namun, sepak bola Eropa punya cara sendiri untuk menguji tim—dan kali ini, Arsenal jatuh di sisi yang menyakitkan dari sejarah.
“Kami seharusnya sudah unggul 3-0 dalam 20 menit pertama,” ujar Arteta dengan nada kecewa namun tegas. Ia menyoroti dominasi awal timnya yang tak membuahkan gol, menegaskan bahwa di kompetisi sekelas Liga Champions, penyelesaian di kotak penalti adalah segalanya. “Ini adalah kompetisi tentang para penyerang dan penjaga gawang, dan dalam dua leg ini, merekalah yang membuat perbedaan,” tambahnya.
Arteta menolak untuk sekadar mengakui kekalahan. Baginya, tersingkir bukan berarti gagal. Ia melihat timnya telah bermain lebih baik dibanding lawan, dan dengan kondisi ideal—terutama dari sisi kebugaran dan kedalaman skuad—hasilnya bisa sangat berbeda. “Kami datang ke sini dengan banyak cedera, dalam situasi yang jauh dari ideal. PSG punya waktu seminggu untuk bersiap, kami datang dengan beban pertandingan dan pemain yang kelelahan,” jelasnya.
Meski akhir musim tanpa trofi akan mengecewakan banyak fans, Arteta menekankan bahwa ada fondasi kuat untuk masa depan. Penampilan tim di dua leg melawan PSG memperlihatkan level permainan yang bisa dibanggakan. Ia menutup dengan pesan optimistis: “Ini memberi saya banyak hal positif. Kami akan kembali.
Menuju Final PSG Buktikan Mentalitas dan Karakter Kelas Dunia
Paris Saint-Germain kembali mencatatkan sejarah. Dengan langkah mantap ke final Liga Champions, skuad muda besutan Luis Enrique menjawab semua keraguan dan sindiran yang selama ini mengiringi mereka. Dulu disebut sebagai “liga para petani”, kini PSG menjadi simbol dari konsistensi, karakter, dan determinasi yang tak bisa dipandang remeh.
“Semua orang bermimpi mencapai final Liga Champions,” ungkap salah satu pilar PSG usai kemenangan penting mereka. “Saat kami datang ke Paris, tujuan kami adalah menciptakan sejarah. Dan kini kami berada di jalur yang tepat.”
Komentar itu terasa seperti tamparan halus bagi para pengkritik Ligue 1 yang selama ini meremehkan kualitas liga domestik Prancis. Namun, PSG tak hanya bicara di media—mereka menunjukkan kelas di lapangan. Dengan skuad muda yang penuh semangat dan permainan menyerang yang terstruktur, PSG tidak hanya lolos ke final, tetapi juga berhasil memukau Eropa.
“Kami adalah tim muda, tapi kami punya mentalitas, karakter, dan cara bermain sepak bola yang luar biasa,” tambahnya. Itu bukan sekadar klaim kosong. Dari lini belakang yang kokoh hingga lini depan yang tajam, PSG memperlihatkan kedewasaan bermain yang biasanya hanya dimiliki tim-tim yang sudah kenyang pengalaman.
Ucapan selamat pun dilayangkan kepada para pemain yang tampil penuh semangat dan determinasi sepanjang perjalanan turnamen ini. Mereka bukan hanya mendekati trofi paling bergengsi di Eropa, tapi juga menulis ulang narasi tentang siapa yang layak diperhitungkan di level tertinggi sepak bola.
Baca Juga :