Dalam lanskap sepak bola nasional yang selama ini didominasi oleh sistem rekrutmen konvensional—yakni melalui akademi, turnamen usia dini resmi, dan pemantauan bakat di kompetisi antar-SSB—hadirnya Turnamen Game of Society (GoS) membawa warna baru yang mencuri perhatian. Turnamen yang awalnya hanya dianggap sebagai hiburan komunitas kini bertransformasi menjadi wahana pencarian bakat yang dilirik serius oleh klub-klub Liga 1 Indonesia.
Game of Society bukan sekadar turnamen sepak bola jalanan. Di balik atmosfernya yang kasual dan penuh nuansa urban, terselip potensi besar yang selama ini terpinggirkan: pemain-pemain muda dari kampung, kompleks perumahan, komunitas futsal, hingga individu-individu bertalenta yang tak pernah mendapat kesempatan meniti jalur akademi resmi.
Tulisan ini akan membedah bagaimana Game of Society menjelma menjadi panggung alternatif klub-klub Liga 1 dalam mencari bintang masa depan, lengkap dengan narasi para pelatih, pemandu bakat, pemain muda, hingga tanggapan dari federasi dan pengamat sepak bola nasional.
Apa Itu Turnamen Game of Society
Game of Society (GoS) adalah sebuah kompetisi sepak bola yang awalnya digagas oleh komunitas urban di Jakarta Selatan pada tahun 2019. Dibalut dalam nuansa street football, GoS memadukan elemen budaya pop, musik, dan gaya hidup muda dengan permainan sepak bola 7 lawan 7. Menggunakan lapangan kecil (mini pitch), durasi pertandingan yang singkat, serta peraturan modifikasi, GoS lebih menekankan pada skill individu, kecerdikan bermain, dan kreativitas tanpa batas.
Seiring waktu, formatnya berkembang. Turnamen yang tadinya hanya berlangsung di satu kota kini telah menjangkau lebih dari 15 kota besar di Indonesia, mulai dari Bandung, Surabaya, Medan, hingga Makassar. Bahkan di tahun 2024, GoS telah resmi bekerja sama dengan beberapa sponsor besar dan media olahraga untuk menjangkau audiens lebih luas.
Yang mengejutkan, sejak 2022, klub-klub Liga 1 mulai menurunkan pemandu bakat mereka secara diam-diam ke ajang ini. Tujuannya jelas: menemukan berlian yang belum terasah.
Perubahan Paradigma Dari Jalanan ke Stadion
Salah satu cerita sukses paling mencolok datang dari Rizky Andaru, pemain muda asal Bekasi yang ditemukan dari GoS edisi 2023. Berbekal kecepatan, skill menggiring bola, dan keberanian berduel satu lawan satu, Rizky berhasil menarik perhatian pemandu bakat Persita Tangerang. Ia pun diberi kesempatan trial dan akhirnya direkrut ke tim Elite Pro Academy U-20.
“Gue enggak pernah ikut SSB. Main bola ya di gang komplek, di lapangan kosong. Pas ada GoS di Jakarta, teman ngajak iseng. Eh, malah rejeki,” cerita Rizky.
Kisah Rizky menjadi titik balik. Banyak klub kemudian mulai menjadikan GoS sebagai laboratorium alternatif, tempat di mana pemain-pemain yang tidak terjamah radar konvensional bisa ditemukan.
Mengapa Klub Liga 1 Mulai Melirik GoS
Ada beberapa alasan mengapa klub-klub besar Liga 1 mulai serius memantau Game of Society:
- Talenta Mentah yang Belum Tersentuh
Banyak pemain yang tampil di GoS belum pernah masuk radar pencari bakat, apalagi ikut akademi. Mereka tumbuh secara organik, membentuk skill dari bermain setiap hari di lingkungan yang keras dan kompetitif. Ini membuat mereka unik dan tidak bisa diprediksi.
“Kami justru mencari yang liar dan belum terlatih sistem. Itu yang bikin mereka beda,” ujar pelatih muda Borneo FC, Ricky Setiawan.
- Mentalitas Jalanan
Pemain yang tumbuh dari jalanan memiliki kelebihan dalam hal keberanian, determinasi, dan tidak mudah menyerah. Dalam banyak kasus, mereka tidak takut bermain keras dan punya daya juang tinggi—atribut yang sulit didapat dari pemain akademi yang terlalu disiplin dalam sistem.
- Variasi Gaya Bermain
Permainan di GoS tidak baku. Setiap pemain membawa gaya bermain masing-masing, seperti gerakan freestyle, dribbling tak lazim, hingga tendangan-tendangan dari sudut mustahil. Hal ini memperkaya opsi teknis bagi klub.
Sistem Rekrutmen Dari Scouting ke Inkubasi
Beberapa klub seperti Persija Jakarta, PSIS Semarang, dan Arema FC bahkan telah membentuk tim scouting khusus untuk memantau pemain dari Game of Society. Biasanya proses dimulai dari pengamatan pertandingan, lalu dilanjutkan dengan mengundang pemain-pemain terpilih untuk mengikuti program incubation camp di akademi masing-masing.
“Kami tidak langsung rekrut. Kami uji mereka dulu di lingkungan latihan profesional. Kami lihat bagaimana mereka beradaptasi dengan disiplin, nutrisi, dan tekanan,” ujar Manajer Akademi PSIS, Arya Kusuma.
Jika pemain berhasil melewati tahap inkubasi, mereka bisa naik ke level EPA (Elite Pro Academy) dan bahkan dikontrak untuk skuat senior jika memenuhi kriteria.
Sorotan Khusus GoS Ubah Narasi Sepak Bola Akar Rumput
Salah satu perubahan besar yang dibawa Game of Society adalah mengubah persepsi tentang sepak bola akar rumput. Sebelumnya, sepak bola komunitas sering dianggap sekadar hobi atau ajang eksistensi. Kini, komunitas-komunitas itu melihat bahwa turnamen seperti GoS bisa membuka jalan karier profesional.
Di Yogyakarta, misalnya, komunitas bernama “Trickster 07” sukses mengorbitkan tiga pemain ke program trial PSS Sleman. Di Bandung, tim “Sunset Boys” yang berisikan mantan anak jalanan mendapat perhatian karena gaya main mereka yang atraktif dan tak kenal takut.
“Sepak bola itu jalan hidup kami. Dulu kami cuma ingin menang di kampung. Sekarang, kami berpikir: siapa tahu kami bisa main di Liga 1,” kata Gery, kapten Sunset Boys.
Tantangan dan Kritik
Meski banyak mendapat pujian, kehadiran Game of Society juga menuai kritik dari beberapa kalangan, terutama pelatih-pelatih konservatif yang menilai sistem scouting seperti ini terlalu riskan.
“Pemain yang tumbuh tanpa dasar taktik dan struktur bisa jadi sulit dibentuk. Mereka bisa jadi tidak paham posisi, cara bertahan, dan etika tim,” ujar pelatih EPA senior asal Malang.
Ada juga kekhawatiran bahwa euforia terhadap GoS bisa menurunkan minat anak-anak untuk masuk akademi formal. Sebagian orang tua merasa turnamen seperti ini memberikan jalur instan menuju karier profesional.
Namun, FFI (Federasi Sepak Bola Indonesia) dan operator Liga 1 melihatnya secara positif. Mereka justru mendorong integrasi antara komunitas dan akademi agar talenta bisa lebih mudah dijembatani.
Peran Media dan Sponsor
Popularitas Game of Society juga didorong oleh peran media sosial. Cuplikan skill, gol-gol spektakuler, dan suasana pertandingan yang meriah menjadi viral di TikTok, Instagram, dan YouTube. Akun-akun komunitas seperti @futsalina, @bolakampung_id, dan @gosocietyofficial rajin mengunggah highlight, wawancara pemain, dan konten kreatif lainnya.
Sponsor besar seperti apparel olahraga, minuman energi, dan platform streaming mulai merapat. GoS edisi 2025 bahkan direncanakan akan tayang eksklusif di platform OTT olahraga nasional.
Visi Jangka Panjang GoS Jadi Liga Semi-Pro
Dengan perkembangan pesat dan atensi dari klub-klub profesional, banyak yang mulai mendorong agar Game of Society naik kelas menjadi liga semi-profesional tersendiri. Dengan sistem home-away antar kota, jenjang usia yang lebih rapi, serta format kompetitif reguler.
Beberapa tokoh sepak bola, termasuk legenda seperti Bima Sakti dan Firman Utina, mendukung ide tersebut. Mereka percaya bahwa semakin banyak pintu masuk ke sepak bola profesional, maka semakin besar kemungkinan Indonesia menemukan generasi emas.
“Dulu jalan ke timnas hanya satu: SSB, akademi, timnas usia muda. Sekarang ada jalur komunitas. Ini revolusi,” tegas Firman.
Baca Juga: