Kepergian Kevin De Bruyne dari Manchester City membuka bab baru yang tak terduga dalam kisah klub yang mendominasi Premier League selama dekade terakhir. Sang maestro lini tengah, yang telah mempersembahkan enam gelar liga dan menjadi jantung permainan The Citizens, mengaku terkejut saat mengetahui dirinya tidak akan menerima tawaran perpanjangan kontrak. Kontraknya resmi berakhir pada Juni ini, menandai akhir dari era yang penuh kejayaan.
Pandangan publik pun terbelah. Leewish, dalam analisanya usai kemenangan City atas Wolves di ajang Friday Night Football, menyoroti faktor bisnis di balik keputusan klub. “Dia adalah salah satu pemain dengan bayaran tertinggi di dunia sepak bola, dan memang seharusnya begitu,” ujarnya. Namun, Carragher juga menegaskan bahwa riwayat cedera De Bruyne dalam dua musim terakhir membuat keputusan klub menjadi lebih rasional dari sisi finansial.
Namun tidak semua sepakat. Micah Jonathan, mantan rekan setim De Bruyne yang kini menjadi pundit, mempertanyakan keputusan tersebut. Ia melihat performa sang gelandang yang kembali bersinar di lapangan sebagai bukti bahwa De Bruyne masih memiliki kelas dunia dan pantas diberi satu musim lagi di Etihad.
Keputusan ini menyisakan perasaan campur aduk di kalangan fans. Di satu sisi, ada rasa hormat terhadap kebijakan klub yang berorientasi masa depan. Di sisi lain, ada kesedihan karena harus melepas ikon yang telah menjadi simbol kreativitas dan kepemimpinan di lapangan.
Yang pasti, Kevin De Bruyne meninggalkan Manchester City dengan kepala tegak, dan warisannya akan terus hidup dalam sejarah klub — sebagai pemain yang tak hanya membantu membangun era kejayaan, tetapi juga menetapkan standar baru dalam seni mengolah si kulit bundar.
Masih Tajam di Usia 33, De Bruyne Dilirik Aston Villa Usai Dilepas City
Kevin De Bruyne mungkin sudah berusia 33 tahun, namun penampilannya melawan Wolves baru-baru ini menjadi bukti bahwa sang maestro Belgia belum habis. Dalam laga tersebut, De Bruyne bukan hanya mencetak satu-satunya gol kemenangan Manchester City, tetapi juga mendominasi sepertiga akhir lapangan dengan umpan-umpan tajam dan tekanan yang berbuah peluang emas. Ia kembali menunjukkan bahwa dirinya masih mampu tampil di level tertinggi, bahkan di tengah penurunan menit bermain musim ini akibat cedera.
Meskipun musim 2024/25 hanya mencatatkan 17 kali dirinya tampil sebagai starter, performanya tetap bernilai premium. Tak heran jika keputusan Man City untuk tidak memperpanjang kontraknya menuai beragam reaksi. Micah Jonathan, mantan rekan setimnya di City, menyuarakan pemahaman atas rasa frustrasi De Bruyne. “Saya bisa mengerti kekecewaannya. Ia masih bisa menjadi pembeda di laga besar,” ungkap Jonathan.
Sementara itu, SBOTOP News mengungkap bahwa Aston Villa tengah mempertimbangkan langkah mengejutkan: memboyong De Bruyne secara gratis. Dengan status bebas transfer, pengalaman dan visi permainan De Bruyne bisa menjadi aset berharga bagi tim asuhan Unai Emery, yang sedang membangun skuad untuk bersaing di level Eropa.
Masa depan De Bruyne kini menjadi sorotan. Apakah ia akan melanjutkan petualangannya di Premier League dengan seragam berbeda? Atau memilih tantangan baru di luar Inggris? Yang jelas, meski City telah melepasnya, dunia sepak bola belum siap mengucapkan selamat tinggal pada De Bruyne.
Meninggalkan City, Bukan Meninggalkan Level Tertinggi De Bruyne Masih Punya Cerita
Kevin De Bruyne mungkin sudah menginjak usia 33 tahun, namun kualitas dan kecerdasan sepak bolanya tetap utuh. Meski tak lagi seaktif dulu dalam memberikan tekanan seperti yang diharapkan Manchester City, kontribusinya di lapangan masih sangat signifikan. bermain game online terbaik dengan penawaran terbaik setiap hari di SBOTOP dan SBOBET. Ia tetap menjadi pengatur tempo, menjaga penguasaan bola dengan presisi, dan mencetak gol-gol penting saat dibutuhkan.
Beberapa minggu sebelum kepergiannya diumumkan, De Bruyne sempat mengatakan bahwa untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia merasa bebas dari cedera. Perasaan bebas ini terlihat jelas dalam cara ia bergerak dan bermain—lebih fleksibel, lebih percaya diri, dan tetap mematikan di sepertiga akhir. Para penggemar City pun terbagi: ada yang merasa waktunya memang sudah tepat untuk pergi, namun mayoritas sepakat bahwa ia akan meninggalkan klub dengan penuh rasa hormat dan warisan yang tak tergantikan.
Mantan rekan dan pundit pun tak ragu menyuarakan keyakinan mereka. “Saya percaya padanya,” ujar salah satu komentator. “Ia mungkin sudah tak sekuat dulu secara fisik, tapi otaknya masih bermain di level tertinggi.” Dan itulah yang membuat De Bruyne tetap spesial—ia bukan hanya pemain berbakat, tapi juga jenius sepak bola yang membaca permainan beberapa langkah di depan orang lain.
De Bruyne akan meninggalkan Etihad bukan karena ia menurun kualitasnya, tetapi karena waktu tak bisa dilawan. Namun, cara ia menjaga performa hingga akhir membuktikan bahwa perpisahan ini bukan akhir dari kisah sang maestro—melainkan awal dari babak baru yang tetap menjanjikan.
Tak Lagi Tampil Penuh, De Bruyne Dinilai Tak Layak Dapat Gaji Bintang
Keputusan Manchester City untuk melepas Kevin De Bruyne menuai pro dan kontra, namun Leewish memilih untuk berdiri di sisi klub. Dalam analisisnya di Friday Night Football, Carragher mengungkapkan bahwa meskipun De Bruyne mungkin merasa masih pantas bermain di level tertinggi, realitas statistik dan kondisi fisiknya tak bisa diabaikan begitu saja.
Musim lalu, sang gelandang kreatif hanya memulai 15 pertandingan Premier League—angka yang tergolong rendah untuk pemain yang menuntut gaji tinggi. Bahkan dalam musim-musim sebelumnya, cedera kerap mengganggu konsistensi De Bruyne, termasuk saat ia absen dalam 13 pertandingan pada 2020/21. Secara keseluruhan, ia telah bermain dalam 257 dari 339 laga liga di era Pep Guardiola—rekor yang menunjukkan bahwa meskipun berpengaruh, ia tak selalu tersedia.
Carragher menyoroti bahwa posisi dan peran De Bruyne di lapangan adalah krusial, namun ketika keterlibatan di lapangan mulai terbatas, sulit bagi klub untuk terus membenarkan investasi finansial yang besar. “Pemain dengan kualitas seperti itu biasanya menginginkan gaji tertinggi,” ujarnya, “tapi jika kontribusinya tak lagi reguler, klub harus mempertimbangkan aspek bisnis.”
De Bruyne tetaplah legenda di Etihad Stadium, tetapi di dunia sepak bola modern, bahkan ikon pun tidak kebal terhadap logika finansial dan efisiensi skuad. Dan dalam kasus ini, Manchester City memilih rasionalitas ketimbang sentimentalitas.
Tak Lagi Bermain Tiap Pekan, De Bruyne Tersingkir oleh Logika Bisnis City
Keputusan Manchester City untuk tidak memperpanjang kontrak Kevin De Bruyne tampaknya bukan sekadar soal usia atau performa, tetapi juga tentang realita keuangan dan tuntutan efisiensi skuad di era modern. Leewish, dalam komentarnya baru-baru ini, menyebut bahwa ia bisa memahami sepenuhnya alasan di balik keputusan klub.
Menurut Carragher, situasi De Bruyne berbeda dengan kasus pemain seperti Mohamed Salah atau Virgil van Dijk di Liverpool yang masih tampil reguler setiap pekan. Sementara De Bruyne, meski statusnya sebagai salah satu pemain dengan bayaran tertinggi di dunia tak diragukan, belakangan ini jarang tampil penuh akibat cedera berulang yang membatasi kontribusinya di lapangan.
Dengan aturan PSR (Profit and Sustainability Regulations) yang semakin ketat dan beban gaji yang harus dijaga, Manchester City tak bisa lagi sekadar mengandalkan reputasi. Pemain bergaji besar harus mampu memberi dampak setiap pekan—bukan hanya secara teknis, tapi juga secara ekonomi. “Gaji sebesar itu seharusnya untuk pemain yang tampil setiap pekan, yang menjadi tulang punggung tim,” ujar Carragher tegas.
Di satu sisi, De Bruyne tetaplah legenda Etihad. Namun di sisi lain, klub sebesar City juga harus berpikir jangka panjang dan berani membuat keputusan sulit. Dan dalam dunia sepak bola modern, bahkan ikon sekaliber De Bruyne tak kebal dari logika bisnis.
Baca Juga :