Luis Enrique kembali ke panggung besar yang penuh kenangan—dan bukan untuk bernostalgia, melainkan untuk membuktikan bahwa masa lalu hanyalah batu loncatan menuju dominasi baru. Di semifinal Piala Dunia Antarklub 2025, pelatih asal Spanyol itu memimpin Paris Saint-Germain (PSG) menundukkan Real Madrid dengan skor telak 4-0. Kemenangan ini bukan hanya membawa PSG ke final menghadapi Chelsea, tapi juga membuka kembali lembaran lama yang tak pernah benar-benar ditutup oleh para pendukung Madrid.
Bagi Los Blancos, nama Luis Enrique bukan sekadar legenda sepak bola, melainkan juga simbol pengkhianatan. Ia pernah membela Real Madrid dengan penuh semangat selama lima musim, namun kepindahannya ke rival abadi Barcelona pada tahun 1996 menciptakan luka yang sulit disembuhkan.
Dari Putih ke Blaugrana: Perjalanan yang Mengundang Emosi
Enrique datang ke Real Madrid dari Sporting Gijon sebagai pemain muda bertalenta. Lima tahun berseragam putih memberinya satu gelar La Liga dan tempat di hati para pendukung. Ia dikenal sebagai pemain serbabisa yang bisa diandalkan di berbagai posisi.
Namun, ketika kontraknya habis, Enrique membuat keputusan mengejutkan: ia menolak perpanjangan kontrak dan malah menyeberang ke kubu musuh bebuyutan, FC Barcelona. Keputusan ini mengubah pandangan publik Madrid terhadapnya. Yang dulunya dianggap bintang masa depan, kini dicap sebagai pengkhianat yang tak pantas dikenang.
Dalam sebuah wawancara, Enrique mengaku, “Saya merasa aneh saat melihat diri saya memakai seragam putih di foto-foto lama.” Pernyataan itu memperkuat anggapan bahwa hati Enrique sejak awal memang tak sepenuhnya berada di Bernabeu.
Pahlawan di Camp Nou, Musuh di Ibukota
Selama delapan musim membela Blaugrana, Enrique menjelma menjadi legenda. Ia meraih tujuh trofi, termasuk dua gelar La Liga, dan menjadi pemimpin di ruang ganti. Namun, salah satu momen yang paling dikenang—atau dibenci—oleh fans Madrid adalah El Clasico 2003.
Dalam laga itu, Enrique mencetak gol penyeimbang dan melakukan selebrasi dengan menunjukkan jersey-nya kepada tribun Madridistas. Aksi itu dianggap provokatif dan menambah bara dalam rivalitas dua klub raksasa Spanyol. Enrique pun tidak meminta maaf. “Kalau tak suka cara saya merayakan gol, lebih baik jangan datang ke stadion,” katanya dingin.
Konflik Panas dengan Zidane: Emosi Meledak di El Clasico
Masih dalam laga yang sama, pertikaian antara Zinedine Zidane dan Carles Puyol memanas. Enrique turun tangan, dan bentrok verbal antara dua legenda sepak bola itu pun terjadi. Zidane mendorong wajah Enrique, hampir memicu pertengkaran fisik di lapangan.
Momen itu memperkuat narasi Enrique sebagai sosok provokatif yang telah membakar semua jembatan ke masa lalunya. Kritik keras pun datang, termasuk dari mantan Presiden Real Madrid, Lorenzo Sanz, yang menyebut Enrique “memalukan” dan “mengkhianati klub yang telah membayar mahal untuknya.”
Menang Lewat Trofi: Enrique Tak Perlu Balas Kata-Kata
Setelah gantung sepatu, Enrique kembali ke Barcelona sebagai pelatih dan mencatat sejarah dengan menjuarai treble pada musim 2014/15: La Liga, Copa del Rey, dan Liga Champions. Dalam delapan El Clasico sebagai pelatih, ia menang empat kali—membuktikan bahwa takdirnya memang ditulis untuk menyakitkan Madrid.
Kini di Paris, Enrique melanjutkan kisah suksesnya. Setelah ditunjuk sebagai pelatih PSG pada 2023, ia mempersembahkan treble domestik dan kini melangkah ke final Piala Dunia Antarklub 2025 setelah menghancurkan mantan klubnya dengan skor telak.
Madrid dan Enrique: Cinta Lama yang Jadi Kutukan
Kemenangan 4-0 ini bukan hanya kemenangan taktis di atas lapangan, tapi juga kemenangan simbolis Enrique atas klub yang pernah ia bela dan tinggalkan. Bagi para fans Real Madrid, kekalahan ini terasa lebih menyakitkan karena dilakukan oleh seseorang yang pernah jadi bagian dari keluarga mereka.
Luis Enrique bukan datang untuk berdamai, ia datang untuk menaklukkan. Bukan karena dendam, tapi karena ia tahu betul celah dan kelemahan mantan klubnya. Di matanya, ini bukan pengkhianatan, melainkan perjalanan evolusi. Dan Madrid, entah disadari atau tidak, telah menciptakan monster yang kini jadi momok abadi mereka.
BACA JUGA :