1920x600-TOP-ID
ID
ID
previous arrow
next arrow

SBOTOP Masa Sulit Manchester City di Bawah Guardiola: Periode Paling Pahit dalam Sejarah Kepemimpinannya

Manchester City, di bawah asuhan Pep Guardiola, telah menjadi salah satu tim paling dominan di dunia sepak bola dalam beberapa tahun terakhir. Sejak kedatangannya pada tahun 2016, Guardiola berhasil mengubah City menjadi tim yang bermain dengan filosofi sepak bola menyerang, penguasaan bola yang luar biasa, serta meraih berbagai trofi bergengsi. Namun, perjalanan City di bawah Guardiola tidak selalu mulus. Ada momen-momen sulit yang membuat mereka harus berjuang lebih keras dari biasanya. Artikel ini akan membahas periode paling pahit yang dialami Manchester City selama era Guardiola, baik di kompetisi domestik maupun Eropa.

Musim Awal yang Penuh Tantangan (2016/17)

Ketika Pep Guardiola pertama kali tiba di Etihad Stadium pada musim 2016/17, ekspektasi tinggi langsung mengiringinya. Sebagai pelatih yang telah meraih sukses besar bersama Barcelona dan Bayern Munich, Guardiola diharapkan dapat membawa City mendominasi Liga Inggris dengan cara yang sama. Namun, kenyataan berkata lain. Musim pertama Guardiola di Premier League tidak berjalan sesuai harapan. Manchester City kesulitan menemukan konsistensi, terutama di sektor pertahanan yang sering melakukan kesalahan fatal. Kiper utama saat itu, Claudio Bravo, mengalami masa sulit dan menjadi sorotan karena beberapa kali melakukan blunder. Selain itu, skuat yang dimilikinya belum sepenuhnya sesuai dengan filosofi bermainnya. Akibatnya, City hanya mampu finis di peringkat ketiga klasemen liga, tertinggal dari Chelsea yang keluar sebagai juara. Itu menjadi musim pertama dalam karier kepelatihannya di mana Guardiola tidak meraih satu pun trofi.

Kegagalan di Liga Champions dan Trauma Anfield

Meskipun City mulai menunjukkan dominasinya di liga domestik dalam beberapa musim berikutnya, mereka masih menghadapi kesulitan besar di kompetisi Eropa, terutama di Liga Champions. Salah satu momen paling menyakitkan terjadi pada musim 2017/18 ketika mereka harus menghadapi Liverpool di perempat final.

City yang tampil luar biasa di Premier League saat itu datang dengan status favorit, namun mereka dihancurkan oleh Liverpool dalam dua leg dengan agregat 5-1. Kekalahan 3-0 di Anfield pada leg pertama menjadi pukulan telak, di mana mereka benar-benar dibuat tak berdaya oleh serangan cepat Liverpool yang dipimpin oleh Mohamed Salah. Guardiola yang frustrasi bahkan mendapat kartu merah karena protes berlebihan kepada wasit di leg kedua. Kekalahan ini menjadi pelajaran pahit bahwa dominasi di liga domestik tidak selalu berbanding lurus dengan kesuksesan di Eropa.

Musim 2019/20: Kehilangan Gelar dan Larangan UEFA

Musim 2019/20 bisa dibilang sebagai salah satu periode paling menyakitkan dalam kepemimpinan Guardiola di Manchester City. Mereka kehilangan gelar Premier League setelah tampil kurang konsisten dan tertinggal jauh dari Liga Champions  Liverpool yang akhirnya menjadi juara dengan selisih 18 poin. Kekalahan dari Norwich City, Wolves, serta hasil buruk lainnya membuat City gagal mempertahankan gelar yang telah mereka menangkan dua musim berturut-turut.

Namun, masalah terbesar bukan hanya kegagalan di liga. Pada Februari 2020, UEFA menjatuhkan sanksi larangan bermain di Liga Champions selama dua musim kepada Manchester City karena pelanggaran Financial Fair Play (FFP). Meskipun City akhirnya berhasil memenangkan banding di Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS) dan terhindar dari hukuman tersebut, situasi ini sempat menjadi ancaman serius bagi masa depan klub dan Guardiola sendiri.

Di Liga Champions musim itu, City kembali mengalami kekecewaan besar setelah tersingkir di perempat final oleh Lyon. Kekalahan 1-3 dari tim yang tidak diunggulkan seperti Lyon menjadi tamparan keras bagi Guardiola, yang saat itu banyak dikritik karena keputusannya mengubah taktik secara drastis dalam pertandingan tersebut.

Final Liga Champions yang Mengecewakan (2020/21)

Manchester City akhirnya mencapai final Liga Champions untuk pertama kalinya dalam sejarah mereka pada musim 2020/21. Ini menjadi kesempatan emas bagi Guardiola untuk membawa City meraih trofi Eropa yang telah lama mereka dambakan. Lawan mereka adalah Chelsea, tim yang secara kualitas seharusnya bisa mereka kalahkan.

Namun, final itu berakhir dengan kekecewaan besar. Guardiola membuat keputusan mengejutkan dengan tidak memainkan gelandang bertahan utama seperti Fernandinho atau Rodri, yang membuat lini tengah City menjadi rapuh. Chelsea pun berhasil mencetak gol tunggal lewat Kai Havertz dan memenangkan final dengan skor 1-0. Ini menjadi pukulan telak bagi City yang sangat diunggulkan dalam pertandingan ini.

Awal Buruk Musim 2021/22 dan Krisis Pemain

Setelah kekecewaan di final Liga Champions, City mengalami awal yang kurang meyakinkan di musim 2021/22. Mereka memulai musim dengan kekalahan 0-1 dari Tottenham Hotspur dan sempat tertinggal dalam perburuan gelar. Tidak hanya itu, kegagalan merekrut Harry Kane untuk menggantikan Sergio Agüero yang hengkang ke Barcelona menjadi salah satu kelemahan tim.

Pada saat yang sama, Manchester City juga mengalami krisis pemain karena berbagai alasan, termasuk cedera dan kasus COVID-19 yang membuat beberapa pemain harus absen. Guardiola sempat frustrasi dengan kondisi ini, tetapi akhirnya berhasil mengembalikan City ke jalur kemenangan.

Guardiola dan Mentalitas Bangkit dari Kegagalan

Meskipun mengalami berbagai masa sulit, Pep Guardiola selalu menemukan cara untuk bangkit dan membawa Manchester City kembali ke puncak. Kekalahan dan kegagalan di berbagai kompetisi justru menjadi motivasi bagi tim untuk terus berkembang. City telah membuktikan bahwa mereka adalah salah satu tim terbaik di dunia, meskipun harus melewati berbagai rintangan yang tidak mudah.

Guardiola mungkin telah mengalami periode paling pahit dalam kariernya di Manchester City, tetapi setiap tantangan yang ia hadapi justru membuat timnya semakin kuat. Dengan filosofi permainan yang tetap ia pegang teguh dan mentalitas juara yang telah ia bangun, City terus menjadi kekuatan dominan di sepak bola modern. Kini, tantangan selanjutnya bagi Guardiola dan City adalah terus mempertahankan dominasi mereka dan akhirnya meraih trofi Liga Champions yang masih menjadi obsesi terbesar mereka.

Baca Juga:

TAGS:
CLOSE