Proses naturalisasi gelandang kelahiran Belanda, Jairo Riedewald, yang sempat digadang-gadang memperkuat Timnas Indonesia, akhirnya resmi dibatalkan. Kepastian tersebut disampaikan langsung oleh Anggota Komite Eksekutif (Exco) PSSI, Arya Sinulingga, yang membeberkan secara terbuka alasan di balik keputusan besar tersebut.
Menurut Arya, pembatalan ini bukan disebabkan oleh kurangnya minat atau kualitas sang pemain, melainkan murni karena faktor regulasi FIFA dan pertimbangan hukum yang dinilai terlalu berisiko bagi federasi.
Status Keturunan Tak Jadi Masalah
Secara garis keturunan, Jairo Riedewald sebenarnya memenuhi syarat untuk membela Timnas Indonesia. Ia memiliki darah Indonesia dari sang ibu yang berdarah campuran Indonesia–Belanda, sementara ayahnya berasal dari Suriname.
Namun, masalah utama bukan terletak pada aspek administrasi kewarganegaraan, melainkan riwayat internasional sang pemain. Riedewald tercatat telah tampil tiga kali bersama Timnas Belanda di level senior.
Catatan inilah yang menjadi penghalang utama dalam proses alih federasi. Berdasarkan Statuta FIFA, seorang pemain tidak diperbolehkan berpindah asosiasi sepak bola jika telah memperkuat tim nasional senior setelah melewati usia tertentu.
Perbandingan dengan Kasus Maarten Paes
Arya Sinulingga kemudian menjelaskan bahwa kasus Riedewald kerap disandingkan dengan situasi yang sempat dialami Maarten Paes. Kiper yang kini bermain di Major League Soccer itu juga sempat mengalami penolakan awal dari FIFA terkait proses naturalisasi.
Paes tercatat pernah membela Timnas Belanda U-21 sebanyak enam kali. Penampilan terakhirnya terjadi pada Kualifikasi Euro U-21 2021, ketika usianya sudah menginjak 22 tahun.
Dalam Statuta FIFA, pemain yang tampil untuk tim nasional di atas usia 21 tahun memang pada prinsipnya tidak bisa berganti federasi. Namun, dalam kasus Paes, PSSI melihat adanya celah hukum yang masih memungkinkan untuk diperjuangkan.
Transparansi Jadi Prinsip Utama PSSI
Arya menegaskan bahwa PSSI tidak ingin berspekulasi dalam urusan naturalisasi. Setiap proses harus memiliki dasar hukum yang kuat agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.
“Transparansi ini sangat penting, karena tidak ada gunanya juga kalau diurus naturalisasinya tetapi pemainnya tidak bisa bermain,” ujar Arya, dikutip dari Liputan6 Sport.
Ia mencontohkan bagaimana PSSI menangani kasus Maarten Paes. Meski awalnya ditolak, federasi tetap melihat peluang realistis untuk menang jika mengajukan banding.
“Kami melihat peluangnya untuk Paes. Karena itu, kami lanjutkan prosesnya,” tambahnya.
Konsultasi Intensif dengan Lawyer Internasional
Untuk memastikan langkah yang diambil tepat, PSSI tidak bertindak sendiri. Arya menyebut federasi berkonsultasi dengan penasihat hukum internasional yang berpengalaman dalam kasus sengketa FIFA dan Court of Arbitration for Sport (CAS).
“Kami harus bertanya kepada lawyer. Kami punya lawyer di luar negeri. Kami konsultasi apakah mungkin menang. Kalau tidak mungkin, ya jangan,” jelas Arya.
Dalam kasus Maarten Paes, hasil konsultasi menunjukkan peluang yang cukup besar untuk memenangkan banding. Oleh sebab itu, PSSI memutuskan untuk melanjutkan proses tersebut hingga ke tahap hukum.
Kasus Jairo Riedewald Dinilai Terlalu Berat
Situasi berbeda terjadi pada Jairo Riedewald. Setelah dilakukan kajian mendalam bersama tim hukum, PSSI mendapatkan kesimpulan bahwa peluang untuk memenangkan banding sangat kecil.
“Kemudian ada juga Riedewald yang tidak kami proses naturalisasinya,” kata Arya.
“Situasinya, Riedewald itu sudah pernah bermain beberapa kali di Timnas Belanda. Jadi sudah tidak bisa lagi,” lanjutnya.
Arya menegaskan bahwa para lawyer PSSI bersikap profesional dan objektif dalam memberikan rekomendasi.
“Kami sempat bertanya ke lawyer. Mereka bilang berat. Berat sekali dan hanya buang-buang uang,” ungkap Arya.
Menurutnya, penasihat hukum PSSI tidak sekadar menjanjikan upaya, tetapi menjelaskan risiko secara jujur. “Menurut saya, lawyer kami ini fair,” tambahnya.
Biaya Besar Jadi Pertimbangan Serius
Selain peluang yang kecil, faktor biaya juga menjadi pertimbangan penting. Mengajukan banding ke CAS bukanlah proses murah. PSSI harus menanggung honor pengacara internasional, biaya administrasi sidang, hingga ongkos perjalanan.
“Urusan legal ini butuh biaya besar. Lawyernya bayar, sidangnya bayar, semuanya bayar,” jelas Arya.
Ia menambahkan bahwa dalam kasus Riedewald, memang masih ada peluang secara teori, namun sangat tipis. “Mereka bilang ada peluang, tetapi sangat kecil. Lalu buat apa?” ujarnya.
Menurut Arya, federasi harus berani bersikap rasional dalam mengelola anggaran. Memaksakan proses hukum dengan peluang minim justru berpotensi merugikan PSSI secara finansial.
Fokus ke Opsi yang Lebih Realistis
Dengan dibatalkannya naturalisasi Jairo Riedewald, PSSI kini memilih untuk mengalihkan fokus ke opsi pemain lain yang secara regulasi lebih memungkinkan dan efisien secara biaya.
Keputusan ini juga menjadi pesan bahwa PSSI tidak lagi asal mengejar nama besar, melainkan lebih berhitung secara hukum dan strategis demi kepentingan jangka panjang Timnas Indonesia.
“Kalau peluangnya sangat kecil, kami tidak mau buang-buang uang,” tutup Arya Sinulingga.
Langkah Bijak demi Masa Depan Timnas
Kasus Jairo Riedewald menjadi pelajaran penting dalam proyek naturalisasi pemain untuk Timnas Indonesia. Ambisi memperkuat skuad harus dibarengi kehati-hatian, transparansi, dan dasar hukum yang kuat.
PSSI kini menegaskan komitmennya untuk menempuh jalur yang realistis dan berkelanjutan. Dengan pendekatan tersebut, federasi berharap pembangunan Timnas Indonesia dapat berjalan lebih sehat—baik di atas lapangan maupun di meja hukum internasional.
BACA JUGA :












