Kegagalan Timnas Putri Indonesia untuk melaju ke putaran final Piala Asia 2026 menjadi pukulan yang cukup telak bagi pecinta sepak bola Tanah Air. Meski telah menunjukkan semangat juang yang tinggi dalam setiap laga kualifikasi, nyatanya skuad Garuda Pertiwi masih belum mampu berbicara banyak di level Asia. Salah satu pemain senior dan andalan tim, Safira Ika Putri Kartini, akhirnya angkat bicara soal evaluasi menyeluruh terhadap performa tim. Dalam pernyataannya, Safira secara jujur menyoroti satu aspek fundamental yang menurutnya belum terbentuk secara maksimal: chemistry antarpemain.
Chemistry atau kekompakan dalam tim memang menjadi elemen tak kasatmata yang kerap kali menentukan hasil di lapangan. Meskipun pemain telah menjalani latihan bersama dan memiliki kualitas individu yang mumpuni, tanpa koneksi yang kuat secara emosional dan taktis, performa kolektif akan sulit mencapai level terbaik. Dalam kasus Timnas Putri Indonesia, Safira menyebut bahwa chemistry yang belum solid menjadi salah satu penyebab utama gagalnya tim meraih hasil positif dalam fase kualifikasi.
Artikel ini akan mengulas secara mendalam kritik konstruktif yang disampaikan Safira, melihat dari sudut pandang internal tim, dinamika selama kualifikasi, kondisi sepak bola putri nasional saat ini, serta solusi konkret ke depan agar Timnas Putri bisa bangkit dan kembali berprestasi di level internasional. Pendekatan artikel ini akan mencakup aspek teknis, psikologis, dan struktural yang memengaruhi performa skuad Garuda Pertiwi secara menyeluruh.
Evaluasi Jujur dari Dalam Tim Safira Buka Suara
Sebagai salah satu pemain paling berpengalaman di skuad Garuda Pertiwi, Safira Ika Putri tentu memiliki perspektif yang berharga terhadap kondisi tim. Pemain yang berposisi sebagai gelandang ini telah memperkuat tim nasional sejak usia muda dan tampil dalam berbagai ajang internasional seperti AFF Women’s Championship, SEA Games, hingga Piala Asia 2022 lalu. Oleh karena itu, pernyataannya tidak bisa dianggap angin lalu.
Dalam wawancara yang dilakukan oleh media federasi usai laga terakhir kualifikasi melawan Uzbekistan, Safira menyampaikan dengan nada serius namun tetap bijak, “Kami punya semangat, punya kemauan, dan semuanya bekerja keras. Tapi sayangnya, chemistry di lapangan belum benar-benar terbangun. Itu sangat terlihat ketika kami ditekan lawan atau harus membangun serangan. Kami masih sering salah paham, timing-nya tidak pas, dan itu bikin transisi kami lambat.”
Pernyataan tersebut langsung menjadi sorotan di media sosial dan kalangan pemerhati sepak bola nasional. Banyak yang mengapresiasi keberanian Safira mengungkapkan kondisi internal tim, tetapi juga menyayangkan mengapa aspek fundamental seperti chemistry belum berhasil dibangun secara maksimal, padahal tim sudah menjalani pemusatan latihan (TC) dalam durasi yang cukup panjang.
Menurut Safira, chemistry tidak bisa dibangun hanya lewat latihan taktik. Ia menegaskan pentingnya membangun hubungan personal yang kuat di luar lapangan, komunikasi yang terbuka, dan rasa saling percaya di antara pemain. “Bukan cuma soal passing atau pressing. Tapi soal percaya satu sama lain. Kadang kita bingung siapa yang ambil bola, siapa yang back-up. Hal seperti itu nggak bisa diatur dalam dua minggu latihan. Itu butuh proses dan keterbukaan,” tambahnya.
Realita di Balik Kegagalan Antara Tekanan Transisi dan Minimnya Jam Terbang
Jika menilik lebih dalam pada performa Timnas Putri Indonesia di kualifikasi Piala Asia 2026, sebenarnya beberapa aspek teknis menunjukkan kemajuan. Dalam pertandingan melawan Taiwan, misalnya, pressing tim terlihat lebih terorganisir dibandingkan dengan penampilan tahun-tahun sebelumnya. Namun demikian, masalah besar muncul saat transisi dari bertahan ke menyerang maupun sebaliknya. Di titik inilah chemistry yang kurang solid menjadi sangat kentara.
Pelatih timnas putri, Rudy Eka Priyambada, menyebut bahwa para pemain telah memahami skema taktik, tetapi penerapannya di lapangan sering kali terhambat oleh miskomunikasi. “Kami punya blueprint permainan. Tapi implementasinya masih terganggu karena para pemain belum sepenuhnya ‘klik’ satu sama lain. Ini PR besar buat kami semua,” kata Rudy dalam konferensi pers pasca pertandingan terakhir.
Hal ini diperparah oleh fakta bahwa sebagian besar pemain timnas berasal dari klub-klub yang berbeda level kompetisinya. Ada yang bermain di liga profesional seperti Liga 1 Putri, namun banyak pula yang berasal dari akademi atau tim amatir daerah. Ketimpangan level pengalaman ini membuat proses pembentukan chemistry menjadi lebih menantang, terutama ketika waktu pemusatan latihan sangat terbatas.
Selain itu, tekanan bermain di laga internasional kerap menjadi momok bagi sebagian pemain muda. Meskipun talenta mereka besar, kurangnya jam terbang membuat mereka belum siap secara mental menghadapi atmosfer kompetisi yang intens. Dalam kondisi seperti ini, chemistry menjadi “pegangan” utama di lapangan. Tanpa itu, pemain mudah kehilangan arah dan ritme permainan tim menjadi kacau.
Struktur Kompetisi dan Minimnya Waktu Persiapan
Masalah chemistry sejatinya tidak berdiri sendiri, melainkan berkaitan erat dengan struktur pembinaan dan kompetisi sepak bola putri nasional. Salah satu kritik yang sering muncul adalah minimnya kompetisi reguler yang bisa menjaga performa dan sinergi pemain timnas. Liga 1 Putri yang sempat vakum selama beberapa tahun menjadi hambatan serius dalam menjaga kontinuitas performa pemain.
Di negara-negara kuat seperti Jepang, Korea Selatan, atau bahkan Vietnam, kompetisi sepak bola putri berjalan secara konsisten dan berjenjang. Klub-klub di sana juga memiliki sistem pembinaan yang solid dan mendukung pemain untuk berkembang secara teknis maupun taktis sejak usia dini. Ini sangat kontras dengan kondisi di Indonesia, di mana pemain putri sering kali baru mendapat jam terbang kompetitif ketika sudah masuk usia senior.
Pemusatan latihan yang dilakukan oleh PSSI memang menjadi upaya positif, namun dengan keterbatasan waktu—rata-rata hanya 2–3 minggu sebelum turnamen—sulit bagi pelatih untuk membentuk tim yang benar-benar padu. Safira pun menyoroti hal ini dalam pernyataannya. “Kalau bisa, TC jangan cuma pas ada turnamen. Harus ada program jangka panjang. Mungkin semacam elite training camp yang jalan terus sepanjang tahun,” ucapnya.
Dia juga menambahkan bahwa chemistry bisa terbentuk lebih cepat jika pemain sering bermain bersama dalam pertandingan kompetitif. “Latihan penting, tapi pertandingan lebih penting. Di situ kita belajar mengenal karakter teman satu tim. Kapan dia lari, kapan dia minta bola, itu hanya bisa dipahami kalau kita main bareng terus-menerus,” kata Safira dengan nada tegas.
Jalan ke Depan Membangun Chemistry dan Kekuatan Kolektif
Kritik Safira dan hasil evaluasi dari tim pelatih harus dijadikan bahan refleksi oleh seluruh pemangku kepentingan sepak bola nasional. Kegagalan lolos ke Piala Asia 2026 seharusnya bukan akhir dari segalanya, melainkan awal dari pembenahan sistemik yang menyentuh akar masalah, termasuk dalam hal pembangunan chemistry timnas putri.
Beberapa langkah konkret yang bisa diambil antara lain:
- Meningkatkan Frekuensi TC dan Uji Coba Internasional
Timnas Putri perlu mendapatkan kesempatan untuk berkumpul dan berlatih lebih rutin sepanjang tahun, tidak hanya menjelang turnamen. Selain itu, uji coba melawan tim luar negeri juga akan mempercepat proses adaptasi taktik dan kekompakan tim. - Membangun Liga Putri yang Berkelanjutan dan Profesional
Keberadaan Liga 1 Putri yang berjalan reguler akan membantu pemain menjaga performa dan chemistry antarklub. Dalam jangka panjang, ini juga akan membantu seleksi pemain timnas menjadi lebih objektif dan kompetitif. - Peningkatan Pelatihan Psikologi Tim dan Komunikasi Internal
Chemistry tidak hanya dibangun di lapangan, tetapi juga melalui proses penguatan mental, komunikasi, dan hubungan sosial. Program pelatihan psikologis dan team building harus menjadi bagian dari agenda pelatihan nasional. - Mendorong Klub untuk Fokus pada Pengembangan Pemain Putri
- Klub-klub profesional di Indonesia perlu diberi insentif untuk membangun akademi putri yang kompetitif. Semakin banyak pemain yang berkembang dari usia dini, semakin mudah membentuk chemistry sejak awal.
Also Read: