1920x600-TOP-ID
ID
ID
previous arrow
next arrow

SBOTOP Scheunemann Soroti Masa Depan: Pondasi Sepak Bola Putri Dimulai dari Usia Dini

Sepak bola putri di Indonesia selama bertahun-tahun belum mendapatkan tempat yang layak di hati masyarakat maupun dalam peta pengembangan olahraga nasional. Dibandingkan dengan negara-negara tetangga, seperti Thailand, Vietnam, hingga Filipina yang mulai menunjukkan eksistensi di kancah Asia, Indonesia seolah masih berjalan di tempat. Namun, di balik sunyi dan senyapnya dukungan struktural, ada sosok yang tetap konsisten mendorong kemajuan. Ia adalah Timo Scheunemann.

Sebagai pelatih, pengamat, dan pendidik olahraga, Scheunemann telah lama memendam keresahan terhadap arah perkembangan sepak bola putri. Dalam berbagai kesempatan, ia menekankan satu pesan penting: masa depan sepak bola putri Indonesia hanya akan berubah jika pondasinya dibangun sejak usia dini.

Siapa Timo Scheunemann

Timo Scheunemann bukanlah sosok asing di dunia sepak bola nasional. Pria kelahiran Jerman yang telah menetap lama di Indonesia ini dikenal karena keterlibatannya dalam pengembangan pemain muda dan dedikasinya dalam pembinaan sepak bola akar rumput. Ia pernah melatih Timnas Indonesia U-23, Persekam Metro FC, hingga Malang United. Namun, tak banyak yang tahu bahwa perhatian dan kecintaannya terhadap sepak bola putri juga besar.

Bersama beberapa akademi, termasuk Malang United Women, ia telah membina ratusan anak perempuan yang bermimpi menjadi pesepak bola. “Sepak bola itu bukan milik satu gender,” katanya dalam sebuah wawancara. “Anak perempuan juga berhak bermimpi besar.”

Realitas Sepak Bola Putri Indonesia

  • Infrastruktur Minim

Salah satu kendala utama dalam pengembangan sepak bola putri di Indonesia adalah infrastruktur yang masih sangat terbatas. Lapangan latihan yang layak, fasilitas pendukung, serta akses terhadap pelatih bersertifikat masih menjadi barang mewah. Banyak klub masih memandang sepak bola national putri sebagai pelengkap, bukan sebagai investasi jangka panjang.

  • Kurangnya Kompetisi Reguler

Tanpa kompetisi yang rutin dan terstruktur, bakat-bakat muda kesulitan berkembang. Liga 1 Putri yang sempat digagas pada 2019 justru berhenti total hingga kini. Turnamen-turnamen pendek tanpa kesinambungan justru melemahkan ekosistem yang seharusnya dibangun dari bawah.

  • Kurikulum Pembinaan yang Tidak Terpadu

Di tingkat usia dini, pembinaan untuk anak perempuan masih mengandalkan akademi swasta atau inisiatif komunitas. Tidak ada panduan nasional yang secara khusus mengarahkan pengembangan sepak bola putri sejak kelompok umur U-10 hingga U-20 secara berjenjang.

 Visi Scheunemann Revolusi dari Akar

  • Pendidikan dan Sepak Bola Harus Menyatu

Menurut Scheunemann, pengembangan sepak bola putri tidak bisa dilepaskan dari sistem pendidikan nasional. Ia mengusulkan agar sekolah-sekolah dasar dan menengah menyediakan kurikulum olahraga yang inklusif gender.

“Kalau anak-anak perempuan dibiasakan bermain bola di sekolah, mereka akan tumbuh dengan kepercayaan diri. Dari sinilah kita bisa mulai membangun generasi emas sepak bola putri,” katanya.

  • Mendirikan Akademi Berbasis Gender

Scheunemann mendukung pendirian akademi yang memfokuskan diri pada pembinaan pemain putri. Bukan untuk memisahkan, tapi agar bisa lebih spesifik menyusun metode latihan, nutrisi, hingga psikologi yang sesuai dengan kebutuhan atlet perempuan.

“Anak perempuan butuh pendekatan yang berbeda. Kalau kita bisa menyediakan ekosistem itu sejak awal, talenta mereka akan meledak,” tegasnya.

Teladan dari Negara Lain

  • Jepang Sistem Terintegrasi dari Sekolah Hingga Profesional

Jepang dikenal sebagai salah satu negara Asia dengan sistem pembinaan sepak bola putri terbaik. Mereka membangun jalur dari sekolah dasar, klub kampus, hingga liga profesional. Hasilnya, tim putri Jepang mampu menjuarai Piala Dunia Wanita FIFA 2011.

  • Amerika Serikat Membangun dari Aksesibilitas

AS menjadi negara dengan timnas putri terkuat karena mereka mengutamakan accessibility. Semua anak perempuan bisa bermain bola tanpa biaya mahal. Liga kampus (NCAA) menjadi tulang punggung sistem. Ini menjadi bukti bahwa sepak bola putri bisa maju jika diberi akses sejak dini.

Scheunemann mengakui bahwa Indonesia belum bisa sepenuhnya meniru dua model tersebut. Namun, menurutnya, Indonesia bisa mengadaptasi semangatnya: membangun dari usia dini dengan pendekatan yang masif dan inklusif.

Akademi Percontohan – Harapan di Tengah Tantangan

Di beberapa kota, muncul akademi yang mulai menaruh perhatian besar pada sepak bola putri usia dini, seperti:

  • Sakadeli Football School (Bandung)
  • Wimcycle Football Academy (Surabaya)
  • ASBWI Academy (Bekasi)

Scheunemann menjadi mentor tidak langsung bagi banyak akademi ini. Ia rutin berbagi modul latihan, ikut dalam webinar pelatih muda, dan bahkan meninjau langsung perkembangan pemain perempuan.

Dalam pengamatannya, ada banyak talenta luar biasa di usia 8 hingga 12 tahun. “Mereka punya daya juang tinggi, punya keinginan belajar, dan itu semua harus dimaksimalkan sekarang, bukan nanti,” ujarnya.

Rekomendasi Scheunemann ke PSSI dan Pemerintah

  • Bangun Liga Usia Dini Khusus Putri

Scheunemann menegaskan pentingnya membangun kompetisi U-10, U-12, dan U-15 putri secara rutin dan terstruktur di setiap provinsi. Ini bisa dilakukan dengan melibatkan Dispora, Dinas Pendidikan, dan Askot PSSI.

  • Sertifikasi Pelatih Wanita

Masih sedikit pelatih perempuan yang mengantongi lisensi. Ia mendorong adanya program khusus sertifikasi C AFC untuk pelatih putri. Hal ini penting agar ada representasi yang memadai di bangku pelatih.

  • Anggaran Khusus Pembinaan Putri

Anggaran sepak bola nasional harus mengalokasikan minimal 20% untuk sepak bola putri. Menurutnya, ini langkah konkret untuk menunjukkan keseriusan. Ia menambahkan, “Jangan hanya angkat trofi saat menang, tapi biarkan kita bangun generasi agar mereka bisa menang di masa depan.”

Suara dari Lapangan – Harapan Para Pemain Muda

  • Alya (10 Tahun Malang United)

“Saya senang main bola, tapi kadang susah cari lawan main karena teman perempuan sedikit. Kalau ada lebih banyak sekolah yang punya tim bola cewek, pasti seru banget.”

  • Nisa (12 Tahun Surabaya)

“Aku mau jadi seperti Megan Rapinoe. Tapi di sini susah cari pelatih cewek, jadi kadang nggak enak kalau latihan.”

Cerita Alya dan Nisa bukan sekadar kisah pribadi. Mereka mewakili ribuan anak perempuan di seluruh Indonesia yang punya potensi besar, tapi sistem belum mendukung.

Menatap 2030 – Mimpi Scheunemann

Timo Scheunemann membayangkan tahun 2030 sebagai tonggak penting. Dalam mimpinya:

  • Indonesia sudah punya Liga 1 Putri yang berkelanjutan
  • Setiap provinsi memiliki liga usia dini putri
  • Ada minimal 500 pelatih perempuan bersertifikat
  • Timnas Putri Indonesia bisa bersaing di Piala Asia

Ia sadar bahwa waktu terus berjalan. “Kalau kita mulai sekarang, 5 tahun lagi kita bisa melihat dampaknya. Tapi kalau kita tunda terus, 10 tahun lagi kita masih bicara soal mimpi.”

Peran Media dan Masyarakat

Scheunemann menilai bahwa media juga memiliki peran vital dalam mendorong popularitas dan dukungan untuk sepak bola putri. “Tampilkan kisah mereka. Bantu bangun narasi bahwa bermain bola bukan hanya milik laki-laki,” katanya.

Ia juga mengajak orang tua untuk lebih terbuka dan mendukung jika anak perempuannya ingin bermain bola. “Ini bukan tentang olahraga semata. Ini tentang membentuk karakter, mental, dan disiplin,” tambahnya.

Baca Juga:

TAGS:
CLOSE