Manchester United dikabarkan semakin dekat untuk mendatangkan Matheus Cunha dari Wolves—dan itu bukan transfer biasa. Dalam era sepak bola modern yang kian terstruktur dan serba terukur, Cunha hadir sebagai anomali yang menyegarkan: seorang penyerang dengan gaya bermain bebas, tak terduga, dan penuh gairah.
Ketika berbicara langsung dengan Cunha di tempat latihan Wolves musim panas lalu, sang pemain dengan jujur menyampaikan prinsip hidupnya di atas lapangan. “Saya tidak ingin menjadi robot,” katanya lugas. “Saya ingin menikmati permainan.” Ucapan ini bukan sekadar retorika—ia benar-benar memainkannya dengan jiwa. Gaya bermain Cunha mencerminkan seorang seniman lapangan hijau, yang lebih mengandalkan naluri ketimbang naskah strategi.
Di Wolves, ia sering terlihat berkeliaran dari posisinya, menjelajah ke mana pun kreativitasnya membawanya. Meskipun kadang tindakannya tampak impulsif, keputusan-keputusannya sering menghasilkan momen magis. Keberaniannya untuk mengambil risiko dan mengejutkan lawan menjadikannya sosok yang mampu membalikkan keadaan dalam sekejap.
Kedatangannya ke Old Trafford dapat memberi warna baru pada lini serang Manchester United, yang kerap dinilai kurang imajinatif. Cunha bukan hanya membawa gol dan assist—ia membawa spontanitas dan kegembiraan, sesuatu yang mulai langka dalam permainan yang semakin diatur oleh data dan taktik.
Jika Erik ten Hag mampu mengakomodasi karakternya tanpa meredam kebebasannya, maka Matheus Cunha bisa menjadi sosok tak terduga yang akan menciptakan momen-momen penting di teater impian. Bukan sekadar pemain, ia adalah sebuah pertunjukan.
Senjata Kreatif yang Dibutuhkan Manchester United, Tapi Siapkah Ia untuk Tekanan di Old Trafford
Di tengah kritik Tony Liam soal derbi Manchester yang “membosankan”, sorotan terhadap kebutuhan Manchester United akan pemain kreatif kembali menguat. Di antara nama-nama yang muncul dalam radar transfer musim panas, Matheus Cunha mencuri perhatian. Penyerang asal Brasil ini dikabarkan akan segera bergabung dengan Setan Merah setelah musim berakhir—dan transfer ini punya alasan kuat di baliknya.
Cunha adalah pemain yang fleksibel dan eksplosif. Kemampuannya mencetak gol sekaligus memberi assist menjadikannya sosok ideal untuk mengisi peran nomor 10 dalam sistem menyerang. Ia sudah menunjukkan potensinya dalam peran itu di Wolves, dan tidak asing dengan dinamika taktis yang fleksibel seperti yang diterapkan Ruben Amorim dalam formasi 3-4-3. Kejelasan finansial juga mempercepat kemungkinan transfer—biaya pelepasannya sebesar £64 juta jelas dan transparan, memudahkan negosiasi Manchester United.
Namun, seperti semua potensi besar, selalu ada sisi gelap yang patut dicermati. Cunha adalah pemain yang bermain dengan emosi tinggi. Temperamennya kerap menjadi pertanyaan, terutama ketika harus bermain dalam struktur permainan yang disiplin dan penuh tekanan seperti yang diharapkan di Old Trafford. Di usia 26 tahun, ia seharusnya memasuki masa puncak kariernya—namun tantangan utama bukan lagi soal bakat, melainkan konsistensi dan kedewasaan.
Pertanyaannya bukan hanya apakah Cunha bisa mencetak gol di Premier League—ia sudah membuktikannya bersama Wolves. Yang kini jadi sorotan adalah apakah ia mampu tampil konsisten dalam sistem pressing yang terorganisir dan di bawah sorotan konstan media serta penggemar Manchester United yang menuntut hasil instan.
Jika ia bisa menjinakkan sisi liarnya dan menyalurkan energinya dalam kerangka kerja tim yang lebih terstruktur, Cunha bisa menjadi pembeda. Tapi jika tidak, potensi besar itu bisa dengan cepat menjadi risiko yang mahal.
Si Talenta Eksentrik yang Membelah Opini di Premier League
Matheus Cunha bukanlah tipe pemain yang mudah dikategorikan. Dalam dunia sepak bola modern yang semakin terukur dan terstruktur, penyerang asal Brasil ini tetap menjadi anomali. Data pelacakan Premier League menunjukkan sesuatu yang tak lazim: tidak ada pemain sayap yang lebih sering berjalan di lapangan dibanding Cunha. Bagi sebagian analis, itu adalah tanda kemalasan. Tapi bagi mereka yang memahami karakternya, ini adalah ekspresi dari gaya bermain dan kepribadiannya yang emosional dan tidak konvensional.
Saya adalah pria yang emosional, akunya, sebuah pengakuan jujur yang menggambarkan siapa Cunha sebenarnya. Ia bukan sekadar pesepakbola; ia adalah seniman yang bermain dengan naluri dan perasaan. Namun, emosi itu pula yang kerap menjadi pedang bermata dua. Sejak wawancara tersebut, Cunha sudah menjalani dua skorsing penting—pertama karena kehilangan kendali setelah kekalahan dari Ipswich, dan kedua saat laga Piala FA melawan Bournemouth.
Tak hanya itu, Cunha juga dikenal blak-blakan. Ia pernah secara terbuka membalas kritik dari jurnalis lokal dan bahkan blogger di Wolverhampton, sesuatu yang jarang dilakukan oleh pemain lain. Namun, di balik sisi konfrontatif itu, ia tetap menjadi sosok yang dicintai fans. Gaya bermainnya yang tak terduga, keberaniannya mengambil risiko, dan aura khas Amerika Latin yang dibawanya membuatnya tetap memiliki tempat istimewa di hati pendukung Wolves.
Pelatih kepala Vitor Pereira pernah mengatakan bahwa Cunha adalah pemain yang perlu “merasakan cinta dari orang-orang di sekitarnya.” Pernyataan itu mungkin terdengar sentimental, tetapi sebenarnya itulah kunci untuk memahami pemain seperti Cunha. Ia bukan mesin gol atau robot taktik. Ia adalah pemain yang bergantung pada kenyamanan emosional dan kepercayaan yang diberikan padanya.
Dengan spekulasi kepindahannya ke Manchester United, pertanyaannya bukan hanya soal kemampuan teknis atau taktik, tetapi apakah lingkungan di Old Trafford bisa menyediakan ruang emosional yang dibutuhkan Cunha. Jika iya, maka Setan Merah bukan hanya mendapatkan pemain berbakat—tetapi juga sosok penuh warna yang bisa menghidupkan kembali kreativitas di lini depan mereka.
Dari Molineux ke Old Trafford, Bintang yang Bisa Jadi Penyelamat United
Manchester United mungkin sudah pernah memiliki pemain dengan karakter kuat dan bakat luar biasa dalam sejarah mereka, tapi menjadi sosok vital di Wolves dan menjadi pilar di Old Trafford adalah dua dunia yang berbeda. Meski begitu, Matheus Cunha punya potensi besar untuk menjadi pahlawan baru di teater impian Old Trafford.
Sebagai peningkatan signifikan dibanding opsi penyerang yang dimiliki United saat ini, Cunha bukan sekadar pemain biasa. Di Wolves, dia adalah sosok yang sangat dibutuhkan dan dikagumi, tidak hanya karena kemampuannya di lapangan, tapi juga karena pengaruhnya di ruang ganti. Rekan setimnya pun mengakui kualitasnya.
Matheus Cunha tidak dapat dipercaya,” ungkap Rodrigo Gomes, bek sayap muda asal Portugal, saat berbicara kepada SBOTOP. Gomes tampak takjub dengan permainan Cunha. “Dia sangat kreatif. Kadang dia menguasai bola di tengah banyak pemain lawan, tapi dia punya kemampuan untuk menciptakan peluang, memberikan assist, dan tentu saja mencetak gol. Memiliki pemain seperti ini sangat berharga karena dia selalu bisa menjadi ancaman di depan gawang.
Rodrigo Gomes menyoroti dua kualitas utama Cunha: kemampuannya dalam menembak dan mengumpan, serta kecerdasannya saat menguasai bola. Namun, pujian tidak hanya datang dari pemain muda. Nelson Semedo, kapten Wolves yang pernah bermain bersama Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo, memberikan pandangan menarik soal Cunha sebagai pribadi dan pemain.
Semedo mengenal betul betapa penting mental dan karakter dalam sepak bola tingkat atas, dan pengalamannya bersama dua legenda dunia itu membuat penilaiannya tentang Cunha sangat berharga. Cunha bukan hanya seorang talenta di atas lapangan, tetapi juga pribadi yang punya jiwa kompetitif dan kreativitas tinggi—dua hal yang sangat dibutuhkan Manchester United dalam upaya mereka kembali ke puncak.
Jika Cunha mampu menyesuaikan diri dengan tekanan dan tuntutan besar di Old Trafford, ia bisa jadi kunci perubahan yang selama ini dinanti oleh para pendukung Setan Merah. Dari Molineux ke Old Trafford, perjalanan Cunha mungkin bukan hanya soal transfer, tapi tentang mewujudkan harapan dan impian besar di dunia sepak bola.
Baca Juga :