Turnamen pramusim bergengsi Indonesia, Piala Presiden 2025, kembali digelar setelah sempat mengalami ketidakpastian jadwal akibat padatnya agenda kompetisi domestik dan internasional. Namun, edisi tahun ini menuai sejumlah kritik, terutama dari para pemain dan pelaku sepak bola nasional. Salah satu suara yang paling vokal datang dari winger tim nasional Indonesia, Witan Sulaeman. Dalam sebuah wawancara eksklusif pasca laga uji coba klubnya, Witan menyampaikan pandangannya soal minimnya jumlah peserta Piala Presiden tahun ini yang menurutnya membuat turnamen kehilangan aura prestisiusnya.
Piala Presiden sejak pertama kali digelar pada 2015 telah menjadi ajang pemanasan penting bagi klub-klub Liga 1. Selain sebagai tolok ukur kekuatan skuad sebelum kompetisi resmi dimulai, turnamen ini juga menjadi wadah unjuk gigi pemain muda dan tempat eksperimen strategi bagi para pelatih. Namun, edisi 2025 hanya diikuti oleh delapan klub—jumlah yang sangat jauh di bawah format sebelumnya yang bisa mencapai 18 hingga 20 tim.
Dalam pernyataannya, Witan mengungkapkan kekecewaannya terhadap penyusutan jumlah peserta tersebut. Menurutnya, dengan jumlah tim yang sedikit, Piala Presiden kehilangan esensi kompetitif dan tidak lagi memberikan pengalaman yang menyeluruh bagi para pemain maupun pelatih. “Kalau hanya 8 tim, rasanya seperti turnamen mini. Padahal ini seharusnya turnamen prestisius, pemanasan untuk Liga 1, tempat kami bersaing serius,” ujar Witan. Komentarnya langsung memicu diskusi hangat di kalangan pecinta sepak bola tanah air.
Latar Belakang Piala Presiden dan Signifikansinya
Sejak pertama kali diperkenalkan oleh PSSI dan operator liga, Piala Presiden selalu diposisikan sebagai turnamen bergengsi yang tidak hanya bersifat eksibisi, tetapi juga sebagai ujian kekuatan klub-klub Liga 1. Turnamen ini telah menjadi panggung kelahiran bintang-bintang muda, seperti Egy Maulana Vikri, Pratama Arhan, hingga Witan Sulaeman sendiri.
Piala Presiden juga menyedot perhatian sponsor besar, media, dan suporter dari berbagai daerah. Final-final Piala Presiden terdahulu selalu menyajikan atmosfer luar biasa, terutama ketika digelar di Stadion Gelora Bung Karno atau Stadion Manahan Solo. Bahkan, beberapa klub seperti Persija, Arema FC, dan Persebaya menjadikan trofi Piala Presiden sebagai pencapaian penting dalam sejarah mereka.
Namun, tahun 2025 ini tampaknya menjadi pengecualian. Dengan hanya 8 klub yang ambil bagian, turnamen ini dianggap kehilangan daya tarik. Banyak suporter mempertanyakan alasan di balik pembatasan jumlah peserta. Apakah karena alasan finansial, kesiapan klub, atau kendala teknis dari pihak penyelenggara?
Reaksi Witan Sulaeman Suara dari Kamar Ganti
Sebagai salah satu pemain timnas paling konsisten dalam lima tahun terakhir, suara Witan tidak bisa dianggap sepele. Pengalamannya bermain di berbagai level, termasuk Eropa, menjadikannya pribadi yang kritis terhadap struktur dan kualitas kompetisi di Indonesia. Ia tidak segan-segan mengungkapkan pandangannya demi kemajuan sepak bola nasional.
Menurut Witan, minimnya jumlah peserta membuat kesempatan bermain bagi banyak pemain menjadi terbatas. “Banyak pemain muda yang bisa unjuk gigi kalau turnamennya lebih besar. Ini jadi peluang hilang bagi mereka,” katanya. Ia juga menyebut bahwa turnamen dengan lebih banyak peserta akan lebih kompetitif, sehingga setiap tim terdorong untuk tampil maksimal.
Witan juga menyoroti kurangnya atmosfer rivalitas yang biasanya menjadi daya tarik utama Piala Presiden. “Kalau cuma 8 tim, kemungkinan besar lawannya itu-itu saja. Gak ada atmosfer sengit seperti biasanya. Suporter juga jadi kurang semangat,” ungkap pemain yang kini memperkuat Persija Jakarta itu.
Pernyataan ini mendapatkan dukungan dari banyak pelatih dan analis sepak bola. Mereka menilai bahwa penyelenggara harus memikirkan ulang format kompetisi agar sesuai dengan harapan publik dan kebutuhan pengembangan tim.
Analisis Format dan Dampaknya terhadap Klub
Format dengan delapan peserta membuat Piala Presiden 2025 hanya berjalan selama dua minggu, dengan empat grup berisi dua tim dan langsung menuju semifinal. Tidak ada babak penyisihan yang panjang atau persaingan grup yang ketat. Hal ini tentu berdampak pada kualitas dan kuantitas pertandingan.
Bagi klub, format ini membuat persiapan tim menjadi terbatas. Pelatih tidak memiliki cukup banyak laga untuk mencoba kombinasi taktik dan formasi. Terlebih lagi, klub-klub yang tidak ikut dalam turnamen harus mencari uji coba sendiri, yang belum tentu setara dengan atmosfer kompetisi resmi.
Bagi pemain, terutama mereka yang baru dipromosikan dari akademi atau baru saja direkrut, kesempatan menunjukkan kualitas mereka di depan pelatih dan publik menjadi lebih sempit. Hal ini berpotensi menghambat regenerasi pemain di klub-klub Liga 1.
Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya partisipasi dari beberapa klub besar seperti PSM Makassar, Persib Bandung, dan Borneo FC yang memilih fokus pada latihan tertutup atau agenda lain. Ketidakhadiran mereka membuat turnamen terasa kurang lengkap dan kehilangan sejumlah rivalitas klasik yang biasanya menjadi magnet penonton.
Tanggapan Penyelenggara dan Alasan di Baliknya
Pihak penyelenggara, dalam hal ini PSSI dan PT LIB, menjelaskan bahwa jumlah peserta dibatasi karena alasan efisiensi waktu dan persiapan menuju Liga 1 2025/26 yang akan digelar lebih awal dari musim sebelumnya. Selain itu, padatnya jadwal FIFA Matchday dan agenda internasional lainnya memaksa operator untuk menyederhanakan turnamen.
“Piala Presiden 2025 tetap menjadi turnamen penting. Tapi kali ini kami fokus pada kualitas, bukan kuantitas. Klub yang diundang adalah mereka yang siap dan sesuai dengan kebutuhan teknis,” ujar Direktur Operasional PT LIB dalam konferensi pers.
Namun, argumen ini belum sepenuhnya diterima oleh publik. Banyak yang menilai bahwa keterbatasan waktu seharusnya bukan menjadi alasan untuk memangkas jumlah peserta secara drastis. Alternatif seperti membuat dua zona wilayah atau menggelar turnamen lebih awal bisa menjadi solusi.
Beberapa analis menyarankan agar penyelenggara mengembalikan format awal Piala Presiden di edisi berikutnya. Jika tidak, dikhawatirkan turnamen ini akan kehilangan daya saing dan dianggap hanya sebagai ajang formalitas.
Dampak terhadap Popularitas Turnamen
Minimnya peserta berdampak langsung pada popularitas Piala Presiden 2025. Penurunan jumlah penonton di stadion maupun viewers online sudah terlihat sejak pertandingan pertama. Tidak adanya klub-klub besar dan rivalitas panas membuat atmosfer kompetisi tidak sehidup tahun-tahun sebelumnya.
Siaran televisi nasional pun tampak tidak semeriah dulu. Jumlah sponsor yang terlibat juga lebih sedikit. Padahal, di edisi sebelumnya, Piala Presiden menjadi ladang promosi yang sangat menarik bagi brand-brand besar yang ingin menjangkau pasar sepak bola Indonesia.
Ketika pemain sekelas Witan Sulaeman mengkritik penyelenggaraan, hal ini turut mempengaruhi persepsi publik. Banyak suporter mulai mempertanyakan apakah Piala Presiden masih relevan sebagai ajang prestisius. Tidak sedikit pula yang menyuarakan keinginan agar turnamen ini dikelola oleh pihak independen agar lebih objektif dan profesional.
Potensi Perubahan Format di Masa Depan
Kritik dari Witan dan reaksi publik bisa menjadi pemicu perubahan signifikan dalam penyelenggaraan Piala Presiden ke depan. PSSI dan PT LIB perlu mendengarkan suara dari para pelaku sepak bola, baik pemain, pelatih, maupun suporter.
Salah satu usulan yang muncul adalah mengembalikan format grup besar dengan pembagian wilayah untuk menyesuaikan waktu. Dengan sistem ini, klub-klub dari wilayah timur dan barat bisa bertanding di zona masing-masing sebelum menuju babak gugur. Format ini memungkinkan lebih banyak klub berpartisipasi tanpa membebani jadwal secara berlebihan.
Selain itu, penyelenggara bisa menggandeng lebih banyak sponsor untuk mendukung logistik dan operasional. Penggunaan teknologi VAR, tayangan ulang berkualitas tinggi, serta promosi digital bisa meningkatkan daya tarik turnamen. Yang terpenting, turnamen ini harus kembali menjadi etalase bagi masa depan sepak bola Indonesia.
Baca Juga: