Indonesian Basketball League (IBL) 2025 kembali jadi sorotan. Bukan karena atmosfer kompetisi yang membara atau permainan yang menawan, melainkan karena sederet keputusan kontroversial terkait penghargaan individu para pemain. Dari penentuan MVP Final hingga daftar All-IBL Team, keputusan IBL dinilai membingungkan bahkan oleh penggemar setia basket nasional.
Kejutan Dimulai dari Final IBL 2025
Gegap gempita Fіnаl IBL 2025 уаng dіgеlаr pada 20 Julі lаlu sempat mеmbаwа аntuѕіаѕmе tinggi. Dewa Unіtеd bеrhаѕіl соmеbасk dramatis dаn mеnundukkаn Pеlіtа Jауа dеngаn ѕkоr tipis 74-73, sekaligus meraih gelar juаrа perdana mеrеkа. Namun, euforia tеrѕеbut mendadak bеrubаh menjadi tаndа tаnуа bеѕаr saat Joshua Ibarra diumumkan sebagai MVP Final, раdаhаl Jordan Adams tampil fеnоmеnаl dengan mеnсеtаk 40 роіn—rеkоr tеrtіnggі dаlаm ѕеjаrаh Final IBL.
“Saya mencetak 40 poin pertama di Final IBL dan mereka tetap tak menghargai saya. Tidak masalah. Tak ada yang bisa menghentikan saya di liga ini,” ujar Adams dengan nada kecewa.
Padahal, jelas malam itu Jordan adalah pusat dari semua serangan Dewa United. Pelatih Pablo Favarel pun mengakui timnya sepenuhnya mengandalkan Jordan di laga penentuan tersebut.
Statistika Jadi Satu-Satunya Penilaian?
Keputusan IBL memilih Ibarra disebut-sebut berdasarkan angka efisiensi (EFF) semata, sebuah parameter statistik yang menilai performa pemain berdasarkan jumlah aksi positif dan negatif di lapangan. Masalahnya, EFF tidak selalu mencerminkan dampak sebenarnya seorang pemain terhadap jalannya pertandingan. Ibarra yang lebih sering bermain di posisi low-post, memang minim kesalahan karena perannya tidak seekstrem Adams dalam memegang bola atau menciptakan serangan.
All-IBL Team: Lebih Membingungkan
Keganjilan bеrlаnjut saat IBL mеrіlіѕ tiga kаtеgоrі реnghаrgааn individu раѕса-fіnаl: All-IBL First & Second Team, All-Lосаl Tеаm, dаn All-Dеfеnѕіvе Team. Bukаnnуа memperjelas kuаlіtаѕ раrа реmаіn tеrbаіk musim іnі, dаftаr tersebut juѕtru memicu kеbіngungаn bаru.
Beberapa sorotan tajam di antaranya:
- Gelvis Solano masuk All-IBL Fіrѕt Team meski hаnуа mеnсаtаt rаtа-rаtа 25,6 mеnіt bеrmаіn per gim dаn 13 kаlі ѕtаrtеr dari total lаgа.
- Kaleb Gemilang, satu-satunya pemain lokal di All-IBL Team, memiliki rata-rata terendah sejak 2019, yakni 9,5 poin, 3,1 rebound, dan 1,2 asis. Padahal, Agassi Goantara—MVP Lokal musim ini—tidak masuk daftar sama sekali.
- Yudha Saputera dan Abraham Damar Grahita, dua besar pesaing MVP Lokal, juga tak mendapat tempat.
Apakah benar tak ada pemain lokal lain yang lebih layak dari Kaleb? Atau IBL terlalu terpaku pada efisiensi semata?
Positionless Era, Tapi IBL Masih Terjebak Format Lama
IBL beralasan memilih pemain berdasarkan posisi konvensional (PG, SG, SF, PF, C), namun ini terasa kontradiktif di era basket modern yang semakin “positionless.” Hal ini memaksa pemain seperti Arki Wisnu, dengan rata-rata 3,8 poin dan 3 rebound, masuk daftar pemain terbaik lokal. Sebuah keputusan yang, meski menghargai kontribusi panjang Arki, tetap terasa janggal jika dilihat dari performa musim ini.
Kejanggalan serupa juga terjadi pada All-Defensive Team, yang memilih pemain tanpa konsistensi posisi. Tiga bigman asing disandingkan dengan tiga guard lokal, menambah kesan inkonsistensi dalam sistem penilaian.
Saatnya IBL Berbenah dalam Penilaian
Statistik memang penting, tetapi tidak bisa dijadikan satu-satunya tolok ukur dalam menilai kontribusi pemain. Pengamatan langsung terhadap jalannya pertandingan, konteks peran masing-masing pemain, dan pengaruh terhadap dinamika tim juga seharusnya menjadi pertimbangan utama.
Para penikmat basket Indonesia semakin cerdas. Mereka mengikuti statistik, menonton pertandingan, dan memahami permainan. Maka tak heran jika publik langsung bersuara lantang saat melihat nama-nama yang dinilai “tidak nyambung” dengan performa musim ini.
“HAH?” jadi reaksi umum netizen ketika melihat daftar All-IBL 2025 yang dirilis. Sebuah ungkapan sederhana namun sangat menggambarkan kebingungan yang terjadi.
IBL 2025 mencatat sejarah, sayangnya bukan dalam hal positif. Keputusan penghargaan individu yang dinilai tidak relevan, kurang transparan, dan terasa lepas dari kenyataan di lapangan jadi kritik besar yang harus segera ditanggapi. Jika IBL ingin menjadi liga basket profesional yang disegani, maka sistem penilaian dan penghargaan harus mulai mencerminkan keadilan dan objektivitas.
BACA JUGA :